Kamis, 19 Juni 2025

Stasiun Batavia Noord - Disinilah Segalanya Bermula

 Stasiun Batavia Noord: Disinilah Segalanya Bermula

Author: Eko WKS


Latar Sejarah: Ketika Batavia Butuh Kereta Api

Kisah Stasiun Batavia Noord dimulai pada masa ketika Batavia—ibukota Hindia Belanda—berkembang pesat sebagai pusat niaga dan administrasi kolonial. Di akhir abad ke-19, kebutuhan transportasi dari pelabuhan menuju pedalaman meningkat tajam. Terutama untuk mengangkut hasil bumi seperti kopi, gula, teh, dan karet dari wilayah Priangan dan Jawa Tengah ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk diekspor ke Eropa.

Muncullah inisiatif dari perusahaan swasta Belanda: Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOS). Pada 1 Oktober 1887, mereka membuka jalur Meester Cornelis (Jatinegara) – Batavia Noord. Inilah awal dari era perkeretaapian di Batavia bagian utara.

Batavia Noord dipilih sebagai stasiun akhir karena lokasinya strategis—dekat kanal, pelabuhan, dan jantung pemerintahan kota lama Batavia. Stasiun ini menjadi saksi mobilitas zaman: dari pedagang lokal, pegawai kolonial, hingga tentara Hindia Belanda.

Namun, BOS tak bertahan lama. Karena kesulitan finansial dan teknis, jalur ini akhirnya diambil alih oleh pemerintah kolonial melalui Staatsspoorwegen (SS) pada 1898. Sejak saat itu, kontrol perkeretaapian di Hindia Belanda mulai terpusat dan profesional, dengan Batavia Noord sebagai salah satu simpul penting sebelum dipindahkan ke lokasi baru.

Bergesernya Titik Sentral: Lahirnya Stasiun Batavia Zuid

Perkembangan kota membuat lokasi Batavia Noord dirasa tidak lagi ideal. Wilayahnya sempit, kanal di sekelilingnya menghambat ekspansi, dan lalu lintas barang dari pelabuhan mulai berpindah ke jalur darat.

Maka pada 1929, Staatsspoorwegen meresmikan Stasiun Batavia Zuid, kini dikenal sebagai Stasiun Jakarta Kota. Bangunan baru ini megah, berarsitektur art-deco, dan mampu menampung volume lalu lintas kereta yang lebih besar. Batavia Noord pun perlahan kehilangan perannya.

Walau begitu, stasiun ini tidak langsung ditutup. Ia masih digunakan untuk operasi teknis dan transportasi barang skala kecil. Namun seiring waktu, terutama saat Jepang datang tahun 1942 dan masa awal kemerdekaan, bangunan Batavia Noord mulai ditinggalkan dan akhirnya terlupakan.

📍 Letak Strategis yang Kini Tersamarkan

Kalau kita tengok peta lama—khususnya edisi 1890–1930—Batavia Noord terletak di dekat Jalan Lada, di sisi barat Kali Besar. Kini, kawasan tersebut dikelilingi gedung tua, pertokoan, dan jalan sempit yang penuh aktivitas.

Bekas tapak stasiun kemungkinan berada tak jauh dari Museum Bank Indonesia, di mana jalur rel pernah membentang melintasi kanal dan menuju gudang-gudang kolonial di sekitar pelabuhan.

Tidak ada bangunan yang berdiri utuh hari ini. Namun, jejak sejarahnya tetap hidup dalam peta, arsip kolonial, dan pecinta sejarah yang mencoba menghidupkannya kembali.

Dokumentasi Lawas: Mengintip Masa Lalu

Dari beberapa koleksi Tropenmuseum dan KITLV, ada satu dua potret yang diduga kuat menggambarkan Batavia Noord. Tampak bangunan panjang berkanopi, rel dengan lori trem kecil, dan suasana kota pelabuhan tempo dulu.

Sayangnya, dokumentasi visual Batavia Noord memang sangat terbatas. Berbeda dengan Batavia Zuid yang terekam dalam berbagai sudut dan masa, Batavia Noord nyaris lenyap dari ingatan kolektif, seperti stasiun bayangan yang tertinggal di ujung sejarah.

Ngevlog Tipis-tipis: Melacak yang Tak Terlihat

Beberapa waktu lalu, saya ngevlog tipis-tipis di kawasan Kota Tua. Berjalan kaki dari Museum Bank Indonesia, menyusuri jalur-jalur lama, mencoba membaca peta lawas sambil membandingkan dengan realitas hari ini. Lokasi Batavia Noord mungkin kini tertutup beton dan toko-toko kecil, tapi aromanya masih bisa dirasa.

Saya berdiri di antara gedung tua dan jembatan kanal. Ada desir angin yang membawa suara masa lalu. Suara rel yang berdecit, peluit masinis, dan derap penumpang yang tergesa.

Sekali waktu saya memejamkan mata. Di bayangan saya, Batavia Noord kembali berdiri. Para pekerja pelabuhan memanggul karung. Pegawai berdasi turun dari kereta. Dan kereta uap mengeluarkan asap dari cerobongnya. Sebuah momen sejarah yang sayangnya, tak semua orang tahu.

Penutup: Stasiun yang Hilang, Cerita yang Harus Diulang

Stasiun Batavia Noord bukan sekadar stasiun pertama di utara Batavia. Ia adalah gerbang awal Jakarta modern, tempat di mana rel pertama menghubungkan pelabuhan dengan kota. Walaupun kini telah hilang, kisahnya tetap penting.

Mari kita jaga ingatan ini. Karena sejarah bukan hanya milik gedung megah, tapi juga milik tempat yang hilang. Dan kadang, yang hilang itu justru menyimpan cerita paling berharga.


📸 Satu klik, sejuta cerita – Eko WKS

Jangan Menua Tanpa Cerita.


Referensi Tambahan:

1. Buku “Spoorwegstations op Java” – Diederik Atsma

2. Peta Batavia 1898 & 1930 – KITLV Leiden

3. Arsip Staatsspoorwegen – De Indische Courant

4. Artikel sejarah Batavia oleh Oud Batavia Society

5. Koleksi Tropenmuseum dan Museum Bank Indonesia


Rabu, 04 Juni 2025

Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang


Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang

📍 oleh: Eko WKS


Di tengah udara sejuk Cianjur yang masih setia dengan hijaunya kebun teh dan lembutnya angin gunung,

terdapat sebuah bangunan tua penuh wibawa—Bumi Ageung Cikidang.

Rumah besar ini bukan sekadar peninggalan masa lampau,

tapi bagian penting dari sejarah kepemimpinan dan kebudayaan Sunda.


Bangunan ini pernah menjadi kediaman resmi Raden Aria Adipati Kusumahningrat,

Bupati Cianjur ke-9, yang memerintah dari tahun 1834 hingga 1862.

Beliau dikenal sebagai sosok pemimpin karismatik yang menjunjung tinggi adat Sunda,

serta memiliki hubungan erat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Di masa kepemimpinannya, Cianjur berkembang sebagai kota menak dan pusat kebudayaan yang hidup berdampingan dengan dunia kolonial.


Dibangun pada akhir abad ke-19 dengan perpaduan arsitektur Eropa klasik dan nuansa tradisional Sunda,

Bumi Ageung Cikidang memiliki langit-langit tinggi, pilar kokoh, dan jendela besar menghadap taman.

Di dalamnya, pernah berlangsung perjamuan, pertemuan adat, dan kegiatan seni.

Ia adalah rumah, balai, dan simbol wibawa sekaligus.


Kini, rumah ini berdiri dalam keheningan.

Beberapa bagian mulai dimakan usia, namun masih terawat dan menyimpan banyak benda bersejarah:

perabot kayu jati, dokumen keluarga, foto lawas, hingga artefak dari masa pemerintahan R.A.A. Kusumahningrat.

Bagi yang datang, rumah ini seperti menyambut dengan bisikan masa lalu.


Sayangnya, belum banyak yang mengenal warisan ini.

Padahal, Bumi Ageung Cikidang adalah jejak emas sejarah Cianjur yang harus dijaga dan diceritakan ulang.

Semoga semakin banyak orang datang, bukan sekadar melihat bangunan tua,

tetapi juga meresapi nilai budaya dan sejarah yang melekat pada tiap sudutnya.


Karena sejarah bukan untuk dilupakan,

melainkan untuk dihidupkan kembali dalam cerita dan langkah-langkah baru.


Jangan Menua Tanpa Cerita.

Salam dari Bumi Ageung Cikidang – Cianjur Tempo Doeloe,

Eko WKS.

Mei - 2025


Link Youtube : https://youtu.be/xtD6PHb3FtQ?si=71rQmeZFIftDBFWz
















 









Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

 Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

Oleh : Eko WKS

Di tengah kota Cianjur yang sejuk dan damai, berdiri sebuah bangunan tua yang tak banyak bicara, namun menyimpan napas panjang sejarah: Stasiun Cianjur. Diresmikan pada tahun 1883, stasiun ini menjadi bagian penting dari jalur kereta api lintas Priangan, dibangun oleh Staatsspoorwegen—perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.

Dulu, stasiun ini menjadi simpul penghubung antara Batavia, Bandung, dan Padalarang, menembus lanskap Jawa Barat yang berbukit, melewati lembah dan jembatan tua yang masih berdiri hingga kini. Jalur ini bukan jalur biasa; ia adalah saksi bisu pergerakan manusia, hasil bumi, hingga pasukan kolonial.

Langit-langit stasiun ini masih menjulang dengan gaya arsitektur kolonial yang khas: atap tinggi, ventilasi besar, dan lantai tegel bermotif lama. Lorong dan ruang tunggunya sunyi, tapi bukan sepi—ada suara yang tertinggal dari masa lalu. Suara peluit, roda besi yang beradu dengan rel baja, dan langkah kaki penumpang yang pernah mampir, entah untuk pulang… atau sekadar pergi mencari.

Kini, Stasiun Cianjur memang tak seramai dulu. Lalu lintas kereta di jalur ini tidak lagi padat, bahkan bisa dihitung jari dalam seminggu. Tapi justru di situlah keistimewaannya: ketenangan yang ditawarkan, dan kesempatan untuk melihat bagaimana waktu bekerja pelan-pelan. Bangunannya masih tegak, meski sedikit mengelupas. Plang nama tua masih terpampang, seperti ingin berkata, “Aku masih di sini.”

Aku datang ke sini bukan hanya untuk melihat, tapi untuk mendengarkan. Mendengarkan cerita yang tak lagi terucap, tapi bisa terasa dari setiap detail—dari kusen kayu tua, pintu besi yang berat, hingga rel yang mulai berkarat. Di balik keteduhan stasiun ini, ada napas lama yang masih mengalir pelan, membawa kita ke masa di mana perjalanan adalah petualangan besar.

Dan saat angin melintas di peron, membawa aroma tanah basah dan daun pinus dari kejauhan, aku tahu: tempat ini bukan sekadar stasiun. Ia adalah penjaga waktu, yang tak lelah menunggu siapa pun yang ingin mengenang.

📍 Eko WKS – Ngevlog tipis-tipis di Cianjur, mencari cerita yang tak ditulis sejarah.

🛤️ Jangan Menua Tanpa Cerita.


Link Youtube : https://youtube.com/shorts/H3ma6l0hUl8?si=-XuO1s0yPRM27FY8 

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921
Oleh : Eko WKS

Cianjur… kota yang sejuk di kaki Gunung Gede, kerap disinggahi kereta, punya stasiun tua dan peron yang menyimpan banyak kisah. Tapi hari ini, saya tidak sedang bicara soal rel, stasiun, atau tauco. Saya ingin mengajak kamu berjalan kaki sebentar, menyusuri aroma masa lalu yang masih hidup hingga kini—menuju satu tempat legendaris: Roti Tan Keng Cu.

Sebuah Nama Tua, Sebuah Resep yang Bertahan

Roti Tan Keng Cu bukan sekadar toko roti. Ia adalah bagian dari sejarah kota Cianjur. Berdiri sejak tahun 1921, di masa Hindia Belanda masih bercokol, toko ini dirintis oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Keng Cu.
Beliau memulai dari nol—membuat roti sendiri di rumah, dipanggul di atas kepala, lalu dijajakan dari kampung ke kampung. Tanpa toko, tanpa etalase, hanya mengandalkan rasa.

Kala itu, roti adalah makanan mewah. Tapi berkat tangan Tan Keng Cu, roti menjadi lebih merakyat—disukai oleh warga lokal maupun meneer-meneer Belanda. Bahkan, kabarnya beberapa pejabat Belanda langganan pesan roti untuk dibawa ke Batavia.

Roti yang Menyimpan Masa

Sampai hari ini, resep aslinya masih dijaga ketat oleh generasi penerus. Tidak ada bahan pengawet, tidak ada proses instan. Semua dibuat manual, dari adonan sampai panggangan.
Yang paling legendaris? Roti bulat isi selai nanas, roti sobek isi kelapa dan cokelat, serta roti tawar lawas yang teksturnya padat tapi lembut.

Begitu masuk ke tokonya, kita langsung disambut aroma khas yang membawa kita ke masa lalu—hangat, sederhana, tapi penuh kenangan.

Bukan Sekadar Roti

Roti Tan Keng Cu bukan hanya soal rasa. Ia adalah bagian dari sejarah Cianjur, dari kehidupan masa kolonial, dari percampuran budaya Tionghoa, Sunda, dan Belanda yang diam-diam bertemu dalam gigitan sederhana.

Buat kamu yang sedang ke Cianjur—entah sengaja atau sekadar numpang lewat—luangkan waktu sebentar. Mampirlah. Rasakan bagaimana rasa bisa menyimpan waktu, dan bagaimana roti bisa jadi pengingat bahwa yang sederhana bisa jadi abadi.


---

Eko WKS, dari Cianjur.
Jangan Menua Tanpa Cerita.