Oleh : Eko WKS
Jejak Sejarah di Ujung Selatan Priangan
Ada yang berbeda dari senja di Pangandaran.
Ketika cahaya jingga memantul di dinding batu kali tua bertuliskan “PANGANDARAN +7 M”, kita seolah kembali ke masa ketika uap lokomotif dan peluit kereta menjadi suara yang akrab bagi warga pesisir selatan Jawa.
Stasiun Pangandaran bukan sekadar bangunan tua, ia adalah fragmen dari masa emas jalur kereta Banjar-Cijulang, proyek besar yang digarap oleh Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen (SS-WL) di awal abad ke-20.
Pembangunannya dimulai sekitar tahun 1914, dan rampung secara bertahap hingga 1921, tahun ketika segmen terakhir Parigi–Cijulang akhirnya dibuka untuk umum.
Bangunan stasiun ini diperkirakan selesai sekitar 1917–1918.
Saat itu, kawasan Pangandaran masih dikelilingi hutan kelapa dan perkebunan, serta dikenal sebagai titik perhentian wisatawan Belanda yang ingin menikmati pantai selatan Priangan.
Dari Banjar ke Laut Selatan
Jalur Banjar–Cijulang memiliki panjang lebih dari 80 kilometer, melintasi daerah berbukit, jembatan baja, dan lembah sungai yang menantang.
Bagi para insinyur Staatsspoorwegen, proyek ini bukan sekadar membangun rel, melainkan membuka jalur ekonomi baru di wilayah yang sebelumnya terpencil.
Kereta dari Banjar akan melewati Ciamis, Bojong, Parigi, hingga tiba di Pangandaran.
Setiap pemberhentian memiliki peran: membawa hasil bumi seperti kopi, gula, dan kelapa ke arah utara, serta mengangkut wisatawan dan pedagang menuju pantai.
Pada masa jayanya di tahun 1920-an hingga 1930-an, kereta ini menjadi simbol kemajuan.
Para pelancong dari Batavia dan Bandung dapat menempuh perjalanan hingga Pangandaran, hanya dalam sehari penuh sebuah kemewahan di masa ketika mobil masih jarang, dan jalan raya masih berupa tanah berbatu.
Arsitektur Kolonial Tropis
Bangunan Stasiun Pangandaran bergaya khas Staatsspoorwegen, kokoh namun sederhana.
Pondasinya dari batu kali besar, atapnya tinggi dan curam dengan genteng tanah liat, sementara ventilasi segitiganya memungkinkan udara laut mengalir bebas.
Di bagian depan, terdapat papan nama timbul berwarna putih yang kini mulai pudar tapi huruf-hurufnya masih bisa dibaca jelas, PANGANDARAN +7M.
Di masa lampau, sisi timur stasiun digunakan untuk memarkir gerbong kayu dan lokomotif uap jenis C50 dan D50.
Asap hitam dari cerobongnya kerap menutupi langit sore, disambut riuh anak-anak yang menunggu di tepi rel.
Kini, hanya rumput liar dan jalan kecil yang menandai bekas jalur tersebut.
Dari Riuh ke Sunyi
Sekitar tahun 1982, jalur Banjar–Cijulang resmi ditutup akibat longsor di daerah Bojong–Parigi dan rusaknya beberapa jembatan besi.
Sejak itu, suara peluit tak lagi terdengar di Pangandaran.
Bangunan stasiun perlahan dibiarkan kosong, sebagian dijadikan gudang, sebagian lagi sekadar tempat berteduh warga setempat.
Namun meski relnya hilang, kisahnya tidak ikut hilang.
Dinding-dinding itu masih menyimpan aroma masa lalu.
Setiap retakannya seperti berbisik tentang para masinis yang dulu berangkat sebelum fajar, tentang wisatawan yang turun dengan koper kulit, tentang pegawai Staatsspoorwegen yang menulis tiket dengan pena celup di loket kayu tua.
Antara Kenangan dan Harapan
Bagi sebagian orang, Stasiun Pangandaran hanyalah bangunan tua di pinggir jalan.
Tapi bagi penikmat sejarah, ia adalah monumen kecil dari perjalanan panjang bangsa ini dalam membangun peradaban transportasi.
Melihatnya kini dikelilingi pepohonan kelapa dan semilir angin laut, kita diingatkan bahwa kemajuan tak selalu berarti meninggalkan yang lama.
Terkadang, mengenang adalah cara terbaik untuk melanjutkan.
Penutup
Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.
Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.
Mungkin relnya sudah tak ada.
Tapi kisahnya masih menempel pada dinding, pada huruf timbul di papan nama, dan pada kenangan orang-orang yang pernah menunggu kereta di sini.
Stasiun Pangandaran adalah pengingat bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita tak pernah benar-benar berakhir.
Jangan Menua Tanpa Cerita.
Salam heritage, dari saya Eko WKS / Baraya Heritage.
Sumber Bacaan dan Referensi :
1. Arsip Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen, “Verslag van den Staatsspoorwegen 1916–1922.”
2. Reitsma, S.A. (1928). Spoorwegen en Tramwegen in Nederlands-Indië. ’s-Gravenhage: Mouton & Co.
3. Indonesia Railfan Archive (2020). “Sejarah Jalur Banjar–Cijulang dan Stasiun Pangandaran.”
4. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Barat (2023). Inventarisasi Bangunan Cagar Budaya Jalur Selatan Priangan.
5. Wawancara lapangan komunitas Baraya Railfans dan Kang Kujang Roker, 2024.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar