Cari Blog Ini

Kamis, 23 Oktober 2025

GERBANG KEMBANG KUNING - PINTU SUNYI KOTA SURABAYA

Oleh: Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)




Jejak Awal di Kembang Kuning

Pagi itu, langkah kaki saya berhenti di depan sebuah gerbang tua berwarna putih kusam di kawasan Kembang Kuning, Surabaya.
Sekilas tampak biasa saja — namun dari lengkung besar dan bentuk atap pelananya, terlihat jelas jejak arsitektur kolonial yang masih bertahan di tengah hiruk-pikuk kota modern.


Inilah pintu masuk ke salah satu kompleks pemakaman tertua di Surabaya, yang dulu dikenal dengan nama Begraafplaats Kembang Koening.
Nama yang berasal dari masa Hindia Belanda, ketika kawasan ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi warga Eropa dan Indo-Eropa yang menetap di kota pelabuhan terbesar di Jawa Timur ini.

Boulevard Menuju Keabadian


Jika menelusuri foto-foto lama dari awal abad ke-20, jalan menuju gerbang ini dulu tampak menawan.
Sebuah boulevard panjang diapit deretan pohon pinus tinggi, membentuk lorong alami menuju gerbang besar di ujungnya.
Gerbang ini bergaya Neo-Gotik sederhana tanpa ornamen berlebihan, hanya lengkung besar, dinding tebal, dan salib kecil di puncaknya.
Sebuah simbol arsitektur yang tegas, namun sarat makna: pintu antara kehidupan dan keabadian.

Lewat gerbang inilah dahulu keluarga Belanda, pejabat kolonial, dan warga Indo-Eropa datang menghantarkan kepergian orang-orang terkasih.
Suasana yang hening, teratur, dan penuh penghormatan yang sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang lebih padat dan riuh kendaraan.

Nama-nama di Balik Gerbang

Tak banyak yang tahu, di balik gerbang ini bersemayam tokoh-tokoh penting dalam sejarah Surabaya.


Salah satunya adalah Cornelis Citroen, arsitek asal Belanda yang merancang sejumlah bangunan ikonik seperti Lawang Sewu di Semarang dan Rumah Dinas Wali Kota Surabaya.
Lalu ada G. H. von Faber, seorang wartawan sekaligus sejarawan yang banyak menulis tentang kehidupan masyarakat Surabaya di masa kolonial.


Dan tak jauh dari situ, terdapat makam para awak pesawat Dornier Wal G-26 yang gugur dalam kecelakaan tragis pada tahun 1930-an dan kisah mereka pernah menjadi berita besar di masa itu.

Setiap nisan, setiap huruf nama, adalah potongan kecil dari mozaik sejarah kota ini.
Dan semuanya bermula dari gerbang yang masih berdiri di depan saya sebagai saksi bisu yang menahan waktu agar cerita tak menguap begitu saja.

Kembang Kuning Hari Ini


Kini suasananya telah berubah.
Pepohonan rindang di jalan masuk sudah lama menghilang.
Di kanan kiri gerbang terparkir deretan motor dan mobil, seolah melingkupi sunyi masa lalu dengan riuh modernitas.

Namun jika diperhatikan baik-baik, masih ada nuansa yang sama:
keheningan yang samar, aroma tanah tua, dan guratan cat yang mengelupas dan seakan ingin bercerita bahwa bangunan ini telah melewati banyak musim, tapi tetap setia menjaga rahasianya.

Bagi saya, gerbang Kembang Kuning bukan sekadar pintu makam,
tapi pintu waktu yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan kenangan yang belum selesai.


Refleksi Kecil


Berdiri di depannya, saya membayangkan derap langkah para pelayat tempo dulu, bunyi roda kereta kuda, dan gaung doa yang mungkin pernah bergema di bawah lengkung atap itu.
Sekarang, semua telah berganti suara mesin motor, tapi keheningannya masih terasa sama.

Tempat-tempat seperti ini mengingatkan saya bahwa setiap kota menyimpan lapisan cerita. Sebagian tercatat di buku, sebagian lagi hanya hidup dalam batu nisan, atau dalam foto-foto lama yang kini kita lihat hitam-putih.

Penutup

Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan kisah yang tersisa.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.


Sumber Bacaan & Referensi

1. Arsip foto lama Begraafplaats Kembang Koening – Nationaal Archief Nederland

2. Catatan sejarah Cornelis Citroen & G. H. von Faber – Oud Soerabaia Society

3. Katalog Dornier Wal G-26 crash – Koninklijke Marine Archief

4. Wawancara dan penelusuran sejarah lokal – Baraya Heritage Research Notes

5. Peninjauan langsung ke lapangan hari Rabu, 22 Oktober 2025, bersama komunitas @oudsoerabajahunter

Selasa, 21 Oktober 2025

Titik Nol Kota Bogor – Jejak yang Nyaris Terlupa

Oleh : Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)



Lokasi:
Tepat di depan Balai Kota Bogor, Jl. Ir. H. Djuanda No. 10, Kota Bogor
Berada di trotoar sisi barat jalan, tidak jauh dari Taman Balai Kota dan Hotel Salak Heritage.


Di tengah rindangnya pohon tua dan lalu lintas padat Jalan Ir. H. Djuanda, tepat di depan Balai Kota Bogor, berdiri sebuah tugu kecil sederhana. Warnanya campuran hijau, putih, dan kuning. Tidak menjulang tinggi, hanya sekitar setengah meter — namun maknanya begitu besar: inilah Titik Nol Kilometer Kota Bogor.

Di sisi depannya terukir tulisan JKT 59, menandakan jarak dari Bogor ke Jakarta sejauh 59 kilometer. Di bawahnya ada BGR 0, simbol bahwa di sinilah titik awal perhitungan jarak Kota Bogor dimulai.
Dulu, pada masa Hindia Belanda, masih ada tulisan JTN 47, yang diduga merujuk ke arah Jatinegara. Namun kini tulisan itu sudah hilang, terhapus cat baru dan usia, menyisakan kisah yang tak semua orang lagi mengenalnya.

Tugu ini adalah saksi bisu perjalanan panjang Kota Hujan — mulai dari era Buitenzorg yang menjadi kota peristirahatan pejabat kolonial, hingga kini menjadi kota dinamis dengan wajah modern dan sejarah yang berdampingan.
Konon, titik nol Bogor awalnya berada di sekitar kubah Istana Bogor. Namun seiring perubahan tata kota, penanda jarak ini dipindahkan ke tempat yang lebih mudah dijangkau, agar masyarakat bisa melihat dan mengingatnya.

Meski kecil dan kerap terlewat pandang, tugu ini menyimpan simbol penting: pusat arah dan ukuran perjalanan.
Dari sinilah setiap jarak diukur, setiap peta dimulai, dan setiap kisah bergerak.

“Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan,
tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.
Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.”
Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.


Sumber bacaan & kunjungan lapangan:

1. Observasi langsung di lokasi, Minggu, 19 Oktober 2025

2. Muda Kompas – Titik Nol Kota Bogor Tidak Tampak Namun Berdampak

3. RRI – Titik Nol Kilometer Bogor: Simbol Sejarah dan Geografis Kota Hujan

Jejak Rel di Tanah Pesisir – Stasiun Pangandaran

Jejak Rel di Tanah Pesisir – Stasiun Pangandaran
Oleh : Eko WKS


Instagram.    

Jejak Sejarah di Ujung Selatan Priangan
Ada yang berbeda dari senja di Pangandaran.
Ketika cahaya jingga memantul di dinding batu kali tua bertuliskan “PANGANDARAN +7 M”, kita seolah kembali ke masa ketika uap lokomotif dan peluit kereta menjadi suara yang akrab bagi warga pesisir selatan Jawa.

Stasiun Pangandaran bukan sekadar bangunan tua, ia adalah fragmen dari masa emas jalur kereta Banjar-Cijulang, proyek besar yang digarap oleh Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen (SS-WL) di awal abad ke-20.
Pembangunannya dimulai sekitar tahun 1914, dan rampung secara bertahap hingga 1921, tahun ketika segmen terakhir Parigi–Cijulang akhirnya dibuka untuk umum.

Bangunan stasiun ini diperkirakan selesai sekitar 1917–1918.
Saat itu, kawasan Pangandaran masih dikelilingi hutan kelapa dan perkebunan, serta dikenal sebagai titik perhentian wisatawan Belanda yang ingin menikmati pantai selatan Priangan.

Dari Banjar ke Laut Selatan
Jalur Banjar–Cijulang memiliki panjang lebih dari 80 kilometer, melintasi daerah berbukit, jembatan baja, dan lembah sungai yang menantang.
Bagi para insinyur Staatsspoorwegen, proyek ini bukan sekadar membangun rel, melainkan membuka jalur ekonomi baru di wilayah yang sebelumnya terpencil.

Kereta dari Banjar akan melewati Ciamis, Bojong, Parigi, hingga tiba di Pangandaran.
Setiap pemberhentian memiliki peran: membawa hasil bumi seperti kopi, gula, dan kelapa ke arah utara, serta mengangkut wisatawan dan pedagang menuju pantai.

Pada masa jayanya di tahun 1920-an hingga 1930-an, kereta ini menjadi simbol kemajuan.
Para pelancong dari Batavia dan Bandung dapat menempuh perjalanan hingga Pangandaran, hanya dalam sehari penuh  sebuah kemewahan di masa ketika mobil masih jarang, dan jalan raya masih berupa tanah berbatu.

Arsitektur Kolonial Tropis
Bangunan Stasiun Pangandaran bergaya khas Staatsspoorwegen, kokoh namun sederhana.
Pondasinya dari batu kali besar, atapnya tinggi dan curam dengan genteng tanah liat, sementara ventilasi segitiganya memungkinkan udara laut mengalir bebas.
Di bagian depan, terdapat papan nama timbul berwarna putih yang kini mulai pudar tapi huruf-hurufnya masih bisa dibaca jelas, PANGANDARAN +7M.

Di masa lampau, sisi timur stasiun digunakan untuk memarkir gerbong kayu dan lokomotif uap jenis C50 dan D50.
Asap hitam dari cerobongnya kerap menutupi langit sore, disambut riuh anak-anak yang menunggu di tepi rel.
Kini, hanya rumput liar dan jalan kecil yang menandai bekas jalur tersebut.

Dari Riuh ke Sunyi
Sekitar tahun 1982, jalur Banjar–Cijulang resmi ditutup akibat longsor di daerah Bojong–Parigi dan rusaknya beberapa jembatan besi.
Sejak itu, suara peluit tak lagi terdengar di Pangandaran.
Bangunan stasiun perlahan dibiarkan kosong, sebagian dijadikan gudang, sebagian lagi sekadar tempat berteduh warga setempat.

Namun meski relnya hilang, kisahnya tidak ikut hilang.
Dinding-dinding itu masih menyimpan aroma masa lalu.
Setiap retakannya seperti berbisik tentang para masinis yang dulu berangkat sebelum fajar, tentang wisatawan yang turun dengan koper kulit, tentang pegawai Staatsspoorwegen yang menulis tiket dengan pena celup di loket kayu tua.

Antara Kenangan dan Harapan
Bagi sebagian orang, Stasiun Pangandaran hanyalah bangunan tua di pinggir jalan.
Tapi bagi penikmat sejarah, ia adalah monumen kecil dari perjalanan panjang bangsa ini dalam membangun peradaban transportasi.

Melihatnya kini dikelilingi pepohonan kelapa dan semilir angin laut, kita diingatkan bahwa kemajuan tak selalu berarti meninggalkan yang lama.
Terkadang, mengenang adalah cara terbaik untuk melanjutkan.


Penutup
Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Mungkin relnya sudah tak ada.
Tapi kisahnya masih menempel pada dinding, pada huruf timbul di papan nama, dan pada kenangan orang-orang yang pernah menunggu kereta di sini.

Stasiun Pangandaran adalah pengingat bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita tak pernah benar-benar berakhir.

Jangan Menua Tanpa Cerita.

Salam heritage, dari saya Eko WKS / Baraya Heritage.

Sumber Bacaan dan Referensi :
1. Arsip Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen, “Verslag van den Staatsspoorwegen 1916–1922.”

2. Reitsma, S.A. (1928). Spoorwegen en Tramwegen in Nederlands-IndiĆ«. ’s-Gravenhage: Mouton & Co.

3. Indonesia Railfan Archive (2020). “Sejarah Jalur Banjar–Cijulang dan Stasiun Pangandaran.”

4. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Barat (2023). Inventarisasi Bangunan Cagar Budaya Jalur Selatan Priangan.

5. Wawancara lapangan komunitas Baraya Railfans dan Kang Kujang Roker, 2024.



Senin, 20 Oktober 2025

Jejak F. Silaban – Rumah Sang Arsitek Bangsa di Buitenzorg

Jejak F. Silaban – Rumah Sang Arsitek Bangsa di Buitenzorg

Eko WKS – Baraya Heritage

Akhir pekan kali ini saya berjalan menyusuri sudut-sudut Buitenzorg, nama lama dari Kota Bogor yang selalu punya aroma masa lalu. Di antara rintik hujan dan rindangnya pepohonan tropis, saya tiba di sebuah jalan kecil yang namanya begitu istimewa — Jl. Arsitek F. Silaban.

Sebuah papan hijau berdiri di pinggir jalan, sederhana namun penuh makna. Nama itu membawa kita kepada sosok besar: Friedrich Silaban (1912–1984), arsitek kebanggaan Indonesia yang merancang Masjid Istiqlal, Bank Indonesia, dan rancangan awal Monumen Nasional (Monas). Namun di balik bangunan monumental itu, ternyata ada sisi lain: rumah yang sederhana, tenang, dan menyatu dengan alam.

Rumah Tropis Sang Maestro

Rumah di Jl. Arsitek F. Silaban ini tampak mencerminkan jati diri sang arsitek.

Atapnya tinggi dan miring — bentuk khas arsitektur modern tropis, dirancang agar udara mengalir bebas di bawah genteng, menyesuaikan iklim lembap Bogor.
Dinding batu alam berpadu dengan jendela besar berbingkai kayu. Halaman depannya luas, dipenuhi pepohonan mangga dan kelapa yang seolah menjaga keteduhan rumah.

Tak ada ornamen berlebihan, tak ada kemewahan mencolok. Justru dalam kesederhanaan itulah tampak kecerdasan arsitektural Silaban: fungsional, manusiawi, dan kontekstual dengan lingkungan tropis Indonesia.

Lebih dari Sekadar Arsitek

Friedrich Silaban dikenal sebagai arsitek idealis yang tak mudah berkompromi.
Ia pernah bersaing dalam sayembara nasional untuk merancang Monumen Nasional dan memenangkan sayembara Masjid Istiqlal, yang kemudian menjadi simbol toleransi dan kemerdekaan bangsa.

Namun Silaban juga seorang yang sederhana. Rumah pribadinya ini menjadi bukti bahwa ia bukan hanya membangun monumen untuk negara, tapi juga ruang hidup yang berjiwa — tempat keluarga, ide, dan ketenangan berpadu.

Buitenzorg, Rumah Sejarah yang Hidup

Buitenzorg, atau Bogor, memang dikenal sebagai kota berhawa sejuk dan sarat peninggalan kolonial. Tapi bagi saya, setiap sudutnya punya kisah baru — seperti rumah ini, yang mungkin sering luput dari perhatian publik.
Menyusuri jalan ini, saya merasa seolah berjalan dalam waktu: dari masa kolonial, menuju masa pasca-kemerdekaan, lewat jejak langkah seorang arsitek yang membangun identitas Indonesia lewat rancangan dan prinsipnya.

Penutup

Hari itu, hujan masih rintik-rintik. Saya berdiri di depan rumah F. Silaban, memandang bangunan yang tenang namun penuh arti. Dalam diamnya, rumah ini seolah berkata:

“Warisan bukan selalu tentang kemegahan. Kadang, ia hadir dalam kesederhanaan yang abadi.”

Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.

Buitenzorg, Jawa Barat

Minggu, 19 Okt 2025




Instagram