Cari Blog Ini

Kamis, 30 Oktober 2025

Gudang Air Pasar Rebo – Jejak Teknologi Air Batavia Tahun 1922

Oleh : Eko WKS
(Baraya Heritage – Ngeblog Tipis-tipis Versi Lapangan)





Air yang Masih Mengalir dari Masa Kolonial

Assalamualaikum Baraya…

Di sela kepadatan Jalan Raya Bogor KM 22, berdiri tenang sebuah bangunan tua bercat putih biru dengan angka “1922” terpahat di fasadnya.
Bangunan ini dikenal sebagai Gudang Air Pasar Rebo, salah satu situs teknik tertua yang masih bertahan dari masa kolonial Belanda.

Sekilas, banyak orang melewatinya tanpa sadar mengira hanya gudang tua tanpa arti. Namun bagi saya, bangunan ini menyimpan kisah penting tentang bagaimana Batavia belajar menyalurkan kehidupan lewat air. Lebih dari sekadar bangunan teknis, Gudang Air Pasar Rebo adalah sisa denyut infrastruktur kolonial yang hingga kini masih ikut menjaga aliran air Jakarta modern.




Awal Pembangunan Ketika Batavia Belajar Mengalirkan Kehidupan

Awal abad ke-20 menjadi masa krusial bagi perkembangan kota Batavia.
Kepadatan penduduk, sanitasi yang buruk, dan wabah penyakit membuat pemerintah kolonial mencari solusi permanen membangun sistem Waterleiding van Batavia (jalur air bersih Batavia).

Sekitar tahun 1910–1925, Belanda membangun jaringan pipa raksasa dari kawasan selatan Cawang, Pasar Rebo, hingga Bogor menuju jantung Batavia. Di sinilah peran Gudang Air Pasar Rebo: sebagai stasiun distribusi dan pengatur tekanan air dari reservoir utama menuju kota.



Tahun 1922, bangunan ini diresmikan. 

Strukturnya dibuat sederhana tapi fungsional: dinding bata setebal hampir 50 cm, ventilasi tinggi agar ruangan tetap sejuk, serta atap limasan bergaya Hindia Belanda. Di dalamnya terpasang sistem pipa, katup, dan roda-roda besi seluruhnya hasil rekayasa teknik Eropa yang dirancang untuk ketahanan jangka panjang.




Carl Schlieper – Nama Kecil di Pintu Besi Batavia

Salah satu detail paling menarik adalah pelat logam kecil di pintu baja:
“Carl Schlieper – Batavia.” Nama ini bukan sekadar hiasan, melainkan tanda tangan industri.
Carl Schlieper adalah perusahaan teknik dan perdagangan besar asal Jerman yang memiliki kantor cabang di Batavia.
Pada masa Hindia Belanda, mereka dikenal sebagai pemasok peralatan industri, mesin pabrik gula, pompa air, dan pintu baja tekanan tinggi.
Keberadaan pelat Schlieper di Gudang Air Pasar Rebo menandakan bahwa sistem air Batavia dibangun dengan standar teknologi Eropa pada masanya.
Engsel dan pegangan pintu yang masih asli menunjukkan detail luar biasa: logam tuang padat, tuas mekanis kuat, dan perakitan manual tanpa las modern.
Semua dikerjakan untuk bertahan – bukan 10 atau 20 tahun, tapi berabad-abad.


                 

Pipa Tahun 1910 – Nadi Logam dari Masa Lampau                   

Saat melangkah ke dalam, terlihat deretan pipa-pipa besi cor raksasa berwarna biru tua. Beberapa masih memiliki cap “1910.” Artinya, usianya sudah lebih dari 115 tahun!

Pipa ini lebih tua dari bangunannya sendiri – bukti bahwa sebagian materialnya dipindahkan dari proyek awal sistem air Batavia sebelum 1922.
Dibuat dari besi cor (cast iron) dengan diameter hampir satu meter, pipa-pipa ini dirancang untuk menahan tekanan tinggi dan tidak mudah korosi.

Bagi saya, pipa tua ini seperti urat nadi kota yang terus berdenyut diam-diam.
Dulu air yang mengalir melewatinya adalah air kehidupan bagi rumah-rumah pejabat, kantor kolonial, dan barak di Weltevreden pusat Batavia lama.
Kini, sebagian jaringan masih tersambung dengan sistem PAM JAYA, meneruskan perannya sebagai penjaga aliran air ibu kota.


Saksi Bisu Perjalanan Air dan Waktu

Di luar, bangunan ini mungkin tampak sederhana, namun setiap bagiannya mengandung jejak masa lalu:
cat biru yang mulai pudar, dinding tebal berlumut, dan suara deru air yang masih terdengar di dalam ruang pompa.

Bayangkan, lebih dari satu abad lalu, teknisi Belanda mengenakan topi teropong dan rompi kerja, berdiri di tempat yang sama, memutar tuas dan mengukur tekanan air.
Kini, ruang yang dulu ramai oleh aktivitas insinyur hanya diisi sunyi dan gema masa lampau.
Namun justru dalam kesunyian itulah, kita bisa mendengar kisah sejarah berbicara pelan-pelan.




Arsitektur dan Makna Warisan

Dari sudut pandang arsitektur, Gudang Air Pasar Rebo mewakili gaya utilitarian kolonial tidak berlebihan dalam ornamen, tapi unggul dalam ketepatan fungsi.
Strukturnya dibangun untuk efisiensi, namun tetap selaras dengan iklim tropis Indonesia.

Sementara dari sisi sejarah teknik, bangunan ini adalah monumen industri air pertama di wilayah timur Batavia.
Ia membuktikan bahwa kolonialisme bukan hanya meninggalkan gedung pemerintahan megah, tapi juga infrastruktur dasar yang masih bermanfaat hingga kini.

Bagi saya pribadi, tempat seperti ini adalah laboratorium waktu:
di sini, teknologi, arsitektur, dan sejarah bertemu dalam satu ruang yang masih berdenyut oleh air.



Mengalir Bersama Cerita

Lebih dari sekadar bangunan tua, Gudang Air Pasar Rebo adalah simbol kesinambungan.
Air yang mengalir hari ini mungkin tak lagi sama, tapi jalur dan sistemnya masih menapak pada pondasi yang dibangun lebih dari satu abad lalu.

Dari pelat kecil bertuliskan Carl Schlieper, dari pipa tua berangka 1910, hingga angka 1922 di dinding depan — semuanya mengingatkan kita bahwa setiap tetes air yang kita nikmati hari ini membawa cerita panjang perjalanan teknologi, kota, dan manusia.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa. 

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.







Rabu, 29 Oktober 2025

Lucas Martin Sarkies – Sang Visioner di Balik Hotel Majapahit Surabaya (1910)

Oleh: Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)





Jejak Elegansi dari Julfa ke Surabaya

Assalamualaikum Baraya…

Hari ini, saya menjejakkan kaki di Pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, sebuah kompleks sunyi yang menyimpan kisah luar biasa tentang dunia perhotelan kolonial.
Di sinilah bersemayam Lucas Martin Sarkies sosok visioner yang membawa kemewahan Eropa ke jantung kota pelabuhan Surabaya lewat mahakaryanya: Hotel Majapahit, atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Oranje.

Kisah keluarga Sarkies dimulai jauh di kawasan Julfa, Isfahan (Persia), tempat komunitas Armenia telah lama dikenal sebagai perantau dan pedagang ulung. Dari sanalah keluarga ini merantau ke Asia Tenggara, menapaki jejak kolonial Inggris dan Belanda.
Empat bersaudara Martin, Tigran, Aviet, dan Arshak Sarkies, menjadi legenda di dunia perhotelan kolonial dengan membangun jaringan hotel termewah di kawasan Asia.

Dinasti Hotel Sarkies Brothers

Mereka mendirikan hotel-hotel yang hingga kini menjadi ikon sejarah:

Raffles Hotel Singapore (1887) – simbol elegansi kolonial di jantung kota Singapura.

The Strand Hotel Yangon (1901) – kemegahan arsitektur Victoria di tepi Sungai Yangon, Myanmar.

Eastern & Oriental Hotel Penang (1885) – permata kolonial di Selat Melaka.

Dan akhirnya, Hotel Oranje Surabaya (1910) proyek pribadi Lucas Martin Sarkies, anak dari Martin Sarkies, yang menjadi mahakarya keluarga ini di Hindia Belanda.

Hotel Oranje Kemewahan di Kota Pelabuhan

Ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dagang dan pelabuhan utama di awal abad ke-20, Lucas Martin melihat peluang besar: kota ini butuh tempat singgah bagi para saudagar Eropa, pejabat kolonial, dan penjelajah dari Asia.
Pada tahun 1910, ia membangun Hotel Oranje di Jalan Tunjungan kawasan paling bergengsi di Surabaya kala itu.

Bangunan bergaya kolonial-Eropa klasik dengan pilar putih tinggi, koridor panjang, jendela lebar, dan halaman dalam yang rindang.
Arsitekturnya memadukan keteraturan Belanda dengan nuansa tropis Hindia.
Bagian dalamnya penuh detail artistik: lampu gantung perunggu, tegel motif geometris, dan langit-langit tinggi yang memberi kesan mewah tapi menenangkan.

Tak lama kemudian, Hotel Oranje menjadi simbol kemewahan dan pusat kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Di sini berlangsung jamuan, pesta dansa, hingga pertemuan politik penting di masa menjelang kemerdekaan.


Dari Hotel Oranje ke Hotel Majapahit

Nama Hotel Oranje berubah menjadi Hotel Majapahit setelah masa kemerdekaan.
Namun, sejarahnya tak bisa dilepaskan dari peristiwa heroik 1945, ketika para pemuda Surabaya menurunkan bendera Belanda di atap hotel ini sebuah momen penting dalam “Insiden Tunjungan” yang memicu Pertempuran 10 November.

Hotel ini pun bukan sekadar penginapan, tapi saksi bisu perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Dari sinilah warisan Lucas Martin Sarkies menembus batas waktu dari masa kolonial hingga kini menjadi ikon heritage nasional.


Kembang Kuning – Peristirahatan Terakhir

Kini, di kompleks Pemakaman Kembang Kuning, nama Lucas Martin Sarkies masih tertulis samar di nisan granit tua.
Tulisan aslinya sudah memudar, tetapi di sekitarnya masih ada makam keluarga Charlotta J.E. Sarkies Heyligers, istrinya yang wafat tragis di kamp Banjoebiroe (Ambara) tahun 1945, dan Betsy Sarkies (van Hoen) yang juga dimakamkan di kompleks yang sama.

Ketika saya berdiri di sana, di bawah pohon kamboja yang rontok bunganya, saya merasa seperti sedang berbicara dengan masa lalu.
Nama yang pudar di batu, tapi abadi di setiap pilar hotel yang masih berdiri gagah di Tunjungan.



Jejak Sarkies di Asia Tenggara

Kisah keluarga Sarkies membentuk jaringan elegansi di Asia Tenggara dari Raffles Singapore yang masih memancarkan pesona kolonial, ke The Strand Yangon yang tetap mempertahankan kemegahan Victoria, dan Hotel Majapahit Surabaya, simbol perpaduan antara sejarah dan kebanggaan bangsa.

Dari Julfa – Penang – Singapore – Yangon – Surabaya, keluarga ini meninggalkan bukan sekadar bangunan, tetapi cerita tentang cita rasa, budaya, dan pertemuan Timur dan Barat.

Penutup

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Dari makam yang sunyi hingga hotel yang megah, semua menyimpan jejak manusia yang mencintai keindahan dan peradaban.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.

Surabaya, Rabu, 22 Oktober 2025








Senin, 27 Oktober 2025

Alfred Emile Rambaldo – Pionir Balon Udara Pertama di Hindia Belanda

Oleh: Eko WKS





Dari Rembang Menuju Langit

Nama Alfred Emile Rambaldo mungkin tidak banyak dikenal, namun jejaknya begitu penting dalam sejarah penerbangan di Nusantara.
Lahir di Rembang, 16 November 1879, ia adalah seorang Letnan Laut Kelas Dua Angkatan Laut Kerajaan Belanda (K.N.M.) yang menaruh minat besar pada dunia penerbangan — sesuatu yang pada masa itu masih dianggap mustahil.

Awal abad ke-20 adalah masa penuh eksperimen dan keberanian.  Di Eropa, para penemu seperti Wright bersaudara dan Zeppelin mulai menaklukkan langit. Dan di Hindia Belanda, seorang perwira muda bernama Rambaldo mencoba membawa semangat itu ke tanah jajahan di timur jauh.






Penerbangan dari Soerabaya

Tahun 1911, Rambaldo mempersiapkan sebuah penerbangan balon udara di Soerabaya. Foto langka menunjukkan ia berdiri di samping keranjang balon, dengan wajah tenang dan penuh rasa ingin tahu. Hari itu, langit Surabaya menjadi saksi dari sebuah eksperimen berani penerbangan balon udara pertama di Hindia Belanda.

Namun takdir berkata lain.
Angin kencang membawa balonnya menjauh ke barat, melintasi dataran Jawa Timur menuju Jawa Tengah. Pada 5 Agustus 1911, balon itu akhirnya jatuh di hutan jati Desa Nglebur, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Rambaldo gugur di usia 31 tahun, setelah terjatuh dari ketinggian sekitar 10 meter saat mencoba menyelamatkan diri dari keranjang balon yang tersangkut di pepohonan.




Nglebur – Di Tengah Hutan Jati Blora

Hutan Jiken di Blora terkenal lebat dan sunyi. Bayangkan suasananya lebih dari seratus tahun silam udara tipis, aroma getah jati, dan di atas pepohonan tinggi itu sebuah balon udara terjerat di antara dahan. Penduduk desa datang dengan rasa ingin tahu, tak menyangka bahwa di tengah rimba itu mereka menemukan seorang perwira penerbang dari negeri jauh.

Peristiwa itu kemudian dicatat dalam berbagai laporan kolonial sebagai kecelakaan balon udara pertama di Hindia Belanda sekaligus menandai berakhirnya perjalanan sang pionir dari Rembang.




Dari Laut ke Langit

Kisah Alfred Rambaldo tidak berdiri sendiri. Kakeknya, J. Rambaldo, adalah seorang Kapten Angkatan Laut Belanda bergelar kehormatan Ridder der Eikenkroon (Ksatria Orde Mahkota Ek). Dua generasi keluarga ini sama-sama hidup di bawah semangat penjelajahan sang kakek di lautan, sang cucu di udara.

Kini, keduanya dimakamkan berdampingan di kompleks pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, dalam sebuah nisan marmer dengan tulisan Belanda:

“Grondlegger der Luchtvaart in Nederland en in zijne koloniën.”
Artinya: “Perintis dunia penerbangan di Belanda dan di koloninya.”

Kalimat itu menjadi penegasan bahwa sejarah penerbangan di Indonesia dimulai jauh sebelum hadirnya bandara modern dan pesawat bermesin logam.



Langit Tak Pernah Melupakan

Nama Alfred Emile Rambaldo kini jarang disebut, namun kisahnya tetap abadi. Ia bukan hanya perwira laut atau penjelajah langit, melainkan simbol keberanian manusia yang menolak berhenti bermimpi.
Lebih dari seabad setelah jatuhnya balon itu di Blora, kita masih bisa menelusuri jejaknya dari lapangan Soerabaya, hutan jati Nglebur, hingga batu nisan tua di Kembang Kuning.
Setiap tempat menyimpan serpih kisah tentang seorang lelaki muda yang berani menembus batas antara laut dan langit.


Penutup

Setiap langkah, bahkan yang menembus langit, selalu meninggalkan jejak di bumi tempat ia berpijak.



Jangan Menua Tanpa Cerita – Eko WKS
Surabaya, Rabu, 22 Oktober 2025


📍 Jejak Sejarah:

1. Soerabaya – Lokasi lepas landas penerbangan 1911

2. Desa Nglebur, Kec. Jiken, Kab. Blora – Lokasi jatuhnya balon udara

3. Kompleks Pemakaman Kembang Kuning, Surabaya – Tempat peristirahatan Alfred Emile Rambaldo dan keluarganya (Rabu, 22 Oktober 2025)