Oleh: Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)
Jejak Elegansi dari Julfa ke Surabaya
Assalamualaikum Baraya…
Hari ini, saya menjejakkan kaki di Pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, sebuah kompleks sunyi yang menyimpan kisah luar biasa tentang dunia perhotelan kolonial.
Di sinilah bersemayam Lucas Martin Sarkies sosok visioner yang membawa kemewahan Eropa ke jantung kota pelabuhan Surabaya lewat mahakaryanya: Hotel Majapahit, atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Oranje.
Kisah keluarga Sarkies dimulai jauh di kawasan Julfa, Isfahan (Persia), tempat komunitas Armenia telah lama dikenal sebagai perantau dan pedagang ulung. Dari sanalah keluarga ini merantau ke Asia Tenggara, menapaki jejak kolonial Inggris dan Belanda.
Empat bersaudara Martin, Tigran, Aviet, dan Arshak Sarkies, menjadi legenda di dunia perhotelan kolonial dengan membangun jaringan hotel termewah di kawasan Asia.
Dinasti Hotel Sarkies Brothers
Mereka mendirikan hotel-hotel yang hingga kini menjadi ikon sejarah:
Raffles Hotel Singapore (1887) – simbol elegansi kolonial di jantung kota Singapura.
The Strand Hotel Yangon (1901) – kemegahan arsitektur Victoria di tepi Sungai Yangon, Myanmar.
Eastern & Oriental Hotel Penang (1885) – permata kolonial di Selat Melaka.
Dan akhirnya, Hotel Oranje Surabaya (1910) proyek pribadi Lucas Martin Sarkies, anak dari Martin Sarkies, yang menjadi mahakarya keluarga ini di Hindia Belanda.
Hotel Oranje Kemewahan di Kota Pelabuhan
Ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dagang dan pelabuhan utama di awal abad ke-20, Lucas Martin melihat peluang besar: kota ini butuh tempat singgah bagi para saudagar Eropa, pejabat kolonial, dan penjelajah dari Asia.
Pada tahun 1910, ia membangun Hotel Oranje di Jalan Tunjungan kawasan paling bergengsi di Surabaya kala itu.
Bangunan bergaya kolonial-Eropa klasik dengan pilar putih tinggi, koridor panjang, jendela lebar, dan halaman dalam yang rindang.
Arsitekturnya memadukan keteraturan Belanda dengan nuansa tropis Hindia.
Bagian dalamnya penuh detail artistik: lampu gantung perunggu, tegel motif geometris, dan langit-langit tinggi yang memberi kesan mewah tapi menenangkan.
Tak lama kemudian, Hotel Oranje menjadi simbol kemewahan dan pusat kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Di sini berlangsung jamuan, pesta dansa, hingga pertemuan politik penting di masa menjelang kemerdekaan.
Dari Hotel Oranje ke Hotel Majapahit
Nama Hotel Oranje berubah menjadi Hotel Majapahit setelah masa kemerdekaan.
Namun, sejarahnya tak bisa dilepaskan dari peristiwa heroik 1945, ketika para pemuda Surabaya menurunkan bendera Belanda di atap hotel ini sebuah momen penting dalam “Insiden Tunjungan” yang memicu Pertempuran 10 November.
Hotel ini pun bukan sekadar penginapan, tapi saksi bisu perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Dari sinilah warisan Lucas Martin Sarkies menembus batas waktu dari masa kolonial hingga kini menjadi ikon heritage nasional.
Kembang Kuning – Peristirahatan Terakhir
Kini, di kompleks Pemakaman Kembang Kuning, nama Lucas Martin Sarkies masih tertulis samar di nisan granit tua.
Tulisan aslinya sudah memudar, tetapi di sekitarnya masih ada makam keluarga Charlotta J.E. Sarkies Heyligers, istrinya yang wafat tragis di kamp Banjoebiroe (Ambara) tahun 1945, dan Betsy Sarkies (van Hoen) yang juga dimakamkan di kompleks yang sama.
Ketika saya berdiri di sana, di bawah pohon kamboja yang rontok bunganya, saya merasa seperti sedang berbicara dengan masa lalu.
Nama yang pudar di batu, tapi abadi di setiap pilar hotel yang masih berdiri gagah di Tunjungan.
Jejak Sarkies di Asia Tenggara
Kisah keluarga Sarkies membentuk jaringan elegansi di Asia Tenggara dari Raffles Singapore yang masih memancarkan pesona kolonial, ke The Strand Yangon yang tetap mempertahankan kemegahan Victoria, dan Hotel Majapahit Surabaya, simbol perpaduan antara sejarah dan kebanggaan bangsa.
Dari Julfa – Penang – Singapore – Yangon – Surabaya, keluarga ini meninggalkan bukan sekadar bangunan, tetapi cerita tentang cita rasa, budaya, dan pertemuan Timur dan Barat.
Penutup
Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.
Dari makam yang sunyi hingga hotel yang megah, semua menyimpan jejak manusia yang mencintai keindahan dan peradaban.
Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.
Surabaya, Rabu, 22 Oktober 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar