Rabu, 04 Juni 2025

Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang


Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang

📍 oleh: Eko WKS


Di tengah udara sejuk Cianjur yang masih setia dengan hijaunya kebun teh dan lembutnya angin gunung,

terdapat sebuah bangunan tua penuh wibawa—Bumi Ageung Cikidang.

Rumah besar ini bukan sekadar peninggalan masa lampau,

tapi bagian penting dari sejarah kepemimpinan dan kebudayaan Sunda.


Bangunan ini pernah menjadi kediaman resmi Raden Aria Adipati Kusumahningrat,

Bupati Cianjur ke-9, yang memerintah dari tahun 1834 hingga 1862.

Beliau dikenal sebagai sosok pemimpin karismatik yang menjunjung tinggi adat Sunda,

serta memiliki hubungan erat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Di masa kepemimpinannya, Cianjur berkembang sebagai kota menak dan pusat kebudayaan yang hidup berdampingan dengan dunia kolonial.


Dibangun pada akhir abad ke-19 dengan perpaduan arsitektur Eropa klasik dan nuansa tradisional Sunda,

Bumi Ageung Cikidang memiliki langit-langit tinggi, pilar kokoh, dan jendela besar menghadap taman.

Di dalamnya, pernah berlangsung perjamuan, pertemuan adat, dan kegiatan seni.

Ia adalah rumah, balai, dan simbol wibawa sekaligus.


Kini, rumah ini berdiri dalam keheningan.

Beberapa bagian mulai dimakan usia, namun masih terawat dan menyimpan banyak benda bersejarah:

perabot kayu jati, dokumen keluarga, foto lawas, hingga artefak dari masa pemerintahan R.A.A. Kusumahningrat.

Bagi yang datang, rumah ini seperti menyambut dengan bisikan masa lalu.


Sayangnya, belum banyak yang mengenal warisan ini.

Padahal, Bumi Ageung Cikidang adalah jejak emas sejarah Cianjur yang harus dijaga dan diceritakan ulang.

Semoga semakin banyak orang datang, bukan sekadar melihat bangunan tua,

tetapi juga meresapi nilai budaya dan sejarah yang melekat pada tiap sudutnya.


Karena sejarah bukan untuk dilupakan,

melainkan untuk dihidupkan kembali dalam cerita dan langkah-langkah baru.


Jangan Menua Tanpa Cerita.

Salam dari Bumi Ageung Cikidang – Cianjur Tempo Doeloe,

Eko WKS.

Mei - 2025


Link Youtube : https://youtu.be/xtD6PHb3FtQ?si=71rQmeZFIftDBFWz
















 









Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

 Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

Oleh : Eko WKS

Di tengah kota Cianjur yang sejuk dan damai, berdiri sebuah bangunan tua yang tak banyak bicara, namun menyimpan napas panjang sejarah: Stasiun Cianjur. Diresmikan pada tahun 1883, stasiun ini menjadi bagian penting dari jalur kereta api lintas Priangan, dibangun oleh Staatsspoorwegen—perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.

Dulu, stasiun ini menjadi simpul penghubung antara Batavia, Bandung, dan Padalarang, menembus lanskap Jawa Barat yang berbukit, melewati lembah dan jembatan tua yang masih berdiri hingga kini. Jalur ini bukan jalur biasa; ia adalah saksi bisu pergerakan manusia, hasil bumi, hingga pasukan kolonial.

Langit-langit stasiun ini masih menjulang dengan gaya arsitektur kolonial yang khas: atap tinggi, ventilasi besar, dan lantai tegel bermotif lama. Lorong dan ruang tunggunya sunyi, tapi bukan sepi—ada suara yang tertinggal dari masa lalu. Suara peluit, roda besi yang beradu dengan rel baja, dan langkah kaki penumpang yang pernah mampir, entah untuk pulang… atau sekadar pergi mencari.

Kini, Stasiun Cianjur memang tak seramai dulu. Lalu lintas kereta di jalur ini tidak lagi padat, bahkan bisa dihitung jari dalam seminggu. Tapi justru di situlah keistimewaannya: ketenangan yang ditawarkan, dan kesempatan untuk melihat bagaimana waktu bekerja pelan-pelan. Bangunannya masih tegak, meski sedikit mengelupas. Plang nama tua masih terpampang, seperti ingin berkata, “Aku masih di sini.”

Aku datang ke sini bukan hanya untuk melihat, tapi untuk mendengarkan. Mendengarkan cerita yang tak lagi terucap, tapi bisa terasa dari setiap detail—dari kusen kayu tua, pintu besi yang berat, hingga rel yang mulai berkarat. Di balik keteduhan stasiun ini, ada napas lama yang masih mengalir pelan, membawa kita ke masa di mana perjalanan adalah petualangan besar.

Dan saat angin melintas di peron, membawa aroma tanah basah dan daun pinus dari kejauhan, aku tahu: tempat ini bukan sekadar stasiun. Ia adalah penjaga waktu, yang tak lelah menunggu siapa pun yang ingin mengenang.

📍 Eko WKS – Ngevlog tipis-tipis di Cianjur, mencari cerita yang tak ditulis sejarah.

🛤️ Jangan Menua Tanpa Cerita.


Link Youtube : https://youtube.com/shorts/H3ma6l0hUl8?si=-XuO1s0yPRM27FY8 

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921
Oleh : Eko WKS

Cianjur… kota yang sejuk di kaki Gunung Gede, kerap disinggahi kereta, punya stasiun tua dan peron yang menyimpan banyak kisah. Tapi hari ini, saya tidak sedang bicara soal rel, stasiun, atau tauco. Saya ingin mengajak kamu berjalan kaki sebentar, menyusuri aroma masa lalu yang masih hidup hingga kini—menuju satu tempat legendaris: Roti Tan Keng Cu.

Sebuah Nama Tua, Sebuah Resep yang Bertahan

Roti Tan Keng Cu bukan sekadar toko roti. Ia adalah bagian dari sejarah kota Cianjur. Berdiri sejak tahun 1921, di masa Hindia Belanda masih bercokol, toko ini dirintis oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Keng Cu.
Beliau memulai dari nol—membuat roti sendiri di rumah, dipanggul di atas kepala, lalu dijajakan dari kampung ke kampung. Tanpa toko, tanpa etalase, hanya mengandalkan rasa.

Kala itu, roti adalah makanan mewah. Tapi berkat tangan Tan Keng Cu, roti menjadi lebih merakyat—disukai oleh warga lokal maupun meneer-meneer Belanda. Bahkan, kabarnya beberapa pejabat Belanda langganan pesan roti untuk dibawa ke Batavia.

Roti yang Menyimpan Masa

Sampai hari ini, resep aslinya masih dijaga ketat oleh generasi penerus. Tidak ada bahan pengawet, tidak ada proses instan. Semua dibuat manual, dari adonan sampai panggangan.
Yang paling legendaris? Roti bulat isi selai nanas, roti sobek isi kelapa dan cokelat, serta roti tawar lawas yang teksturnya padat tapi lembut.

Begitu masuk ke tokonya, kita langsung disambut aroma khas yang membawa kita ke masa lalu—hangat, sederhana, tapi penuh kenangan.

Bukan Sekadar Roti

Roti Tan Keng Cu bukan hanya soal rasa. Ia adalah bagian dari sejarah Cianjur, dari kehidupan masa kolonial, dari percampuran budaya Tionghoa, Sunda, dan Belanda yang diam-diam bertemu dalam gigitan sederhana.

Buat kamu yang sedang ke Cianjur—entah sengaja atau sekadar numpang lewat—luangkan waktu sebentar. Mampirlah. Rasakan bagaimana rasa bisa menyimpan waktu, dan bagaimana roti bisa jadi pengingat bahwa yang sederhana bisa jadi abadi.


---

Eko WKS, dari Cianjur.
Jangan Menua Tanpa Cerita.