Cari Blog Ini

Kamis, 30 Oktober 2025

Gudang Air Pasar Rebo – Jejak Teknologi Air Batavia Tahun 1922

Oleh : Eko WKS
(Baraya Heritage – Ngeblog Tipis-tipis Versi Lapangan)





Air yang Masih Mengalir dari Masa Kolonial

Assalamualaikum Baraya…

Di sela kepadatan Jalan Raya Bogor KM 22, berdiri tenang sebuah bangunan tua bercat putih biru dengan angka “1922” terpahat di fasadnya.
Bangunan ini dikenal sebagai Gudang Air Pasar Rebo, salah satu situs teknik tertua yang masih bertahan dari masa kolonial Belanda.

Sekilas, banyak orang melewatinya tanpa sadar mengira hanya gudang tua tanpa arti. Namun bagi saya, bangunan ini menyimpan kisah penting tentang bagaimana Batavia belajar menyalurkan kehidupan lewat air. Lebih dari sekadar bangunan teknis, Gudang Air Pasar Rebo adalah sisa denyut infrastruktur kolonial yang hingga kini masih ikut menjaga aliran air Jakarta modern.




Awal Pembangunan Ketika Batavia Belajar Mengalirkan Kehidupan

Awal abad ke-20 menjadi masa krusial bagi perkembangan kota Batavia.
Kepadatan penduduk, sanitasi yang buruk, dan wabah penyakit membuat pemerintah kolonial mencari solusi permanen membangun sistem Waterleiding van Batavia (jalur air bersih Batavia).

Sekitar tahun 1910–1925, Belanda membangun jaringan pipa raksasa dari kawasan selatan Cawang, Pasar Rebo, hingga Bogor menuju jantung Batavia. Di sinilah peran Gudang Air Pasar Rebo: sebagai stasiun distribusi dan pengatur tekanan air dari reservoir utama menuju kota.



Tahun 1922, bangunan ini diresmikan. 

Strukturnya dibuat sederhana tapi fungsional: dinding bata setebal hampir 50 cm, ventilasi tinggi agar ruangan tetap sejuk, serta atap limasan bergaya Hindia Belanda. Di dalamnya terpasang sistem pipa, katup, dan roda-roda besi seluruhnya hasil rekayasa teknik Eropa yang dirancang untuk ketahanan jangka panjang.




Carl Schlieper – Nama Kecil di Pintu Besi Batavia

Salah satu detail paling menarik adalah pelat logam kecil di pintu baja:
“Carl Schlieper – Batavia.” Nama ini bukan sekadar hiasan, melainkan tanda tangan industri.
Carl Schlieper adalah perusahaan teknik dan perdagangan besar asal Jerman yang memiliki kantor cabang di Batavia.
Pada masa Hindia Belanda, mereka dikenal sebagai pemasok peralatan industri, mesin pabrik gula, pompa air, dan pintu baja tekanan tinggi.
Keberadaan pelat Schlieper di Gudang Air Pasar Rebo menandakan bahwa sistem air Batavia dibangun dengan standar teknologi Eropa pada masanya.
Engsel dan pegangan pintu yang masih asli menunjukkan detail luar biasa: logam tuang padat, tuas mekanis kuat, dan perakitan manual tanpa las modern.
Semua dikerjakan untuk bertahan – bukan 10 atau 20 tahun, tapi berabad-abad.


                 

Pipa Tahun 1910 – Nadi Logam dari Masa Lampau                   

Saat melangkah ke dalam, terlihat deretan pipa-pipa besi cor raksasa berwarna biru tua. Beberapa masih memiliki cap “1910.” Artinya, usianya sudah lebih dari 115 tahun!

Pipa ini lebih tua dari bangunannya sendiri – bukti bahwa sebagian materialnya dipindahkan dari proyek awal sistem air Batavia sebelum 1922.
Dibuat dari besi cor (cast iron) dengan diameter hampir satu meter, pipa-pipa ini dirancang untuk menahan tekanan tinggi dan tidak mudah korosi.

Bagi saya, pipa tua ini seperti urat nadi kota yang terus berdenyut diam-diam.
Dulu air yang mengalir melewatinya adalah air kehidupan bagi rumah-rumah pejabat, kantor kolonial, dan barak di Weltevreden pusat Batavia lama.
Kini, sebagian jaringan masih tersambung dengan sistem PAM JAYA, meneruskan perannya sebagai penjaga aliran air ibu kota.


Saksi Bisu Perjalanan Air dan Waktu

Di luar, bangunan ini mungkin tampak sederhana, namun setiap bagiannya mengandung jejak masa lalu:
cat biru yang mulai pudar, dinding tebal berlumut, dan suara deru air yang masih terdengar di dalam ruang pompa.

Bayangkan, lebih dari satu abad lalu, teknisi Belanda mengenakan topi teropong dan rompi kerja, berdiri di tempat yang sama, memutar tuas dan mengukur tekanan air.
Kini, ruang yang dulu ramai oleh aktivitas insinyur hanya diisi sunyi dan gema masa lampau.
Namun justru dalam kesunyian itulah, kita bisa mendengar kisah sejarah berbicara pelan-pelan.




Arsitektur dan Makna Warisan

Dari sudut pandang arsitektur, Gudang Air Pasar Rebo mewakili gaya utilitarian kolonial tidak berlebihan dalam ornamen, tapi unggul dalam ketepatan fungsi.
Strukturnya dibangun untuk efisiensi, namun tetap selaras dengan iklim tropis Indonesia.

Sementara dari sisi sejarah teknik, bangunan ini adalah monumen industri air pertama di wilayah timur Batavia.
Ia membuktikan bahwa kolonialisme bukan hanya meninggalkan gedung pemerintahan megah, tapi juga infrastruktur dasar yang masih bermanfaat hingga kini.

Bagi saya pribadi, tempat seperti ini adalah laboratorium waktu:
di sini, teknologi, arsitektur, dan sejarah bertemu dalam satu ruang yang masih berdenyut oleh air.



Mengalir Bersama Cerita

Lebih dari sekadar bangunan tua, Gudang Air Pasar Rebo adalah simbol kesinambungan.
Air yang mengalir hari ini mungkin tak lagi sama, tapi jalur dan sistemnya masih menapak pada pondasi yang dibangun lebih dari satu abad lalu.

Dari pelat kecil bertuliskan Carl Schlieper, dari pipa tua berangka 1910, hingga angka 1922 di dinding depan — semuanya mengingatkan kita bahwa setiap tetes air yang kita nikmati hari ini membawa cerita panjang perjalanan teknologi, kota, dan manusia.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa. 

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.







Rabu, 29 Oktober 2025

Lucas Martin Sarkies – Sang Visioner di Balik Hotel Majapahit Surabaya (1910)

Oleh: Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)





Jejak Elegansi dari Julfa ke Surabaya

Assalamualaikum Baraya…

Hari ini, saya menjejakkan kaki di Pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, sebuah kompleks sunyi yang menyimpan kisah luar biasa tentang dunia perhotelan kolonial.
Di sinilah bersemayam Lucas Martin Sarkies sosok visioner yang membawa kemewahan Eropa ke jantung kota pelabuhan Surabaya lewat mahakaryanya: Hotel Majapahit, atau yang dulu dikenal sebagai Hotel Oranje.

Kisah keluarga Sarkies dimulai jauh di kawasan Julfa, Isfahan (Persia), tempat komunitas Armenia telah lama dikenal sebagai perantau dan pedagang ulung. Dari sanalah keluarga ini merantau ke Asia Tenggara, menapaki jejak kolonial Inggris dan Belanda.
Empat bersaudara Martin, Tigran, Aviet, dan Arshak Sarkies, menjadi legenda di dunia perhotelan kolonial dengan membangun jaringan hotel termewah di kawasan Asia.

Dinasti Hotel Sarkies Brothers

Mereka mendirikan hotel-hotel yang hingga kini menjadi ikon sejarah:

Raffles Hotel Singapore (1887) – simbol elegansi kolonial di jantung kota Singapura.

The Strand Hotel Yangon (1901) – kemegahan arsitektur Victoria di tepi Sungai Yangon, Myanmar.

Eastern & Oriental Hotel Penang (1885) – permata kolonial di Selat Melaka.

Dan akhirnya, Hotel Oranje Surabaya (1910) proyek pribadi Lucas Martin Sarkies, anak dari Martin Sarkies, yang menjadi mahakarya keluarga ini di Hindia Belanda.

Hotel Oranje Kemewahan di Kota Pelabuhan

Ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dagang dan pelabuhan utama di awal abad ke-20, Lucas Martin melihat peluang besar: kota ini butuh tempat singgah bagi para saudagar Eropa, pejabat kolonial, dan penjelajah dari Asia.
Pada tahun 1910, ia membangun Hotel Oranje di Jalan Tunjungan kawasan paling bergengsi di Surabaya kala itu.

Bangunan bergaya kolonial-Eropa klasik dengan pilar putih tinggi, koridor panjang, jendela lebar, dan halaman dalam yang rindang.
Arsitekturnya memadukan keteraturan Belanda dengan nuansa tropis Hindia.
Bagian dalamnya penuh detail artistik: lampu gantung perunggu, tegel motif geometris, dan langit-langit tinggi yang memberi kesan mewah tapi menenangkan.

Tak lama kemudian, Hotel Oranje menjadi simbol kemewahan dan pusat kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Di sini berlangsung jamuan, pesta dansa, hingga pertemuan politik penting di masa menjelang kemerdekaan.


Dari Hotel Oranje ke Hotel Majapahit

Nama Hotel Oranje berubah menjadi Hotel Majapahit setelah masa kemerdekaan.
Namun, sejarahnya tak bisa dilepaskan dari peristiwa heroik 1945, ketika para pemuda Surabaya menurunkan bendera Belanda di atap hotel ini sebuah momen penting dalam “Insiden Tunjungan” yang memicu Pertempuran 10 November.

Hotel ini pun bukan sekadar penginapan, tapi saksi bisu perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Dari sinilah warisan Lucas Martin Sarkies menembus batas waktu dari masa kolonial hingga kini menjadi ikon heritage nasional.


Kembang Kuning – Peristirahatan Terakhir

Kini, di kompleks Pemakaman Kembang Kuning, nama Lucas Martin Sarkies masih tertulis samar di nisan granit tua.
Tulisan aslinya sudah memudar, tetapi di sekitarnya masih ada makam keluarga Charlotta J.E. Sarkies Heyligers, istrinya yang wafat tragis di kamp Banjoebiroe (Ambara) tahun 1945, dan Betsy Sarkies (van Hoen) yang juga dimakamkan di kompleks yang sama.

Ketika saya berdiri di sana, di bawah pohon kamboja yang rontok bunganya, saya merasa seperti sedang berbicara dengan masa lalu.
Nama yang pudar di batu, tapi abadi di setiap pilar hotel yang masih berdiri gagah di Tunjungan.



Jejak Sarkies di Asia Tenggara

Kisah keluarga Sarkies membentuk jaringan elegansi di Asia Tenggara dari Raffles Singapore yang masih memancarkan pesona kolonial, ke The Strand Yangon yang tetap mempertahankan kemegahan Victoria, dan Hotel Majapahit Surabaya, simbol perpaduan antara sejarah dan kebanggaan bangsa.

Dari Julfa – Penang – Singapore – Yangon – Surabaya, keluarga ini meninggalkan bukan sekadar bangunan, tetapi cerita tentang cita rasa, budaya, dan pertemuan Timur dan Barat.

Penutup

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Dari makam yang sunyi hingga hotel yang megah, semua menyimpan jejak manusia yang mencintai keindahan dan peradaban.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.

Surabaya, Rabu, 22 Oktober 2025








Senin, 27 Oktober 2025

Alfred Emile Rambaldo – Pionir Balon Udara Pertama di Hindia Belanda

Oleh: Eko WKS





Dari Rembang Menuju Langit

Nama Alfred Emile Rambaldo mungkin tidak banyak dikenal, namun jejaknya begitu penting dalam sejarah penerbangan di Nusantara.
Lahir di Rembang, 16 November 1879, ia adalah seorang Letnan Laut Kelas Dua Angkatan Laut Kerajaan Belanda (K.N.M.) yang menaruh minat besar pada dunia penerbangan — sesuatu yang pada masa itu masih dianggap mustahil.

Awal abad ke-20 adalah masa penuh eksperimen dan keberanian.  Di Eropa, para penemu seperti Wright bersaudara dan Zeppelin mulai menaklukkan langit. Dan di Hindia Belanda, seorang perwira muda bernama Rambaldo mencoba membawa semangat itu ke tanah jajahan di timur jauh.






Penerbangan dari Soerabaya

Tahun 1911, Rambaldo mempersiapkan sebuah penerbangan balon udara di Soerabaya. Foto langka menunjukkan ia berdiri di samping keranjang balon, dengan wajah tenang dan penuh rasa ingin tahu. Hari itu, langit Surabaya menjadi saksi dari sebuah eksperimen berani penerbangan balon udara pertama di Hindia Belanda.

Namun takdir berkata lain.
Angin kencang membawa balonnya menjauh ke barat, melintasi dataran Jawa Timur menuju Jawa Tengah. Pada 5 Agustus 1911, balon itu akhirnya jatuh di hutan jati Desa Nglebur, Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora. Rambaldo gugur di usia 31 tahun, setelah terjatuh dari ketinggian sekitar 10 meter saat mencoba menyelamatkan diri dari keranjang balon yang tersangkut di pepohonan.




Nglebur – Di Tengah Hutan Jati Blora

Hutan Jiken di Blora terkenal lebat dan sunyi. Bayangkan suasananya lebih dari seratus tahun silam udara tipis, aroma getah jati, dan di atas pepohonan tinggi itu sebuah balon udara terjerat di antara dahan. Penduduk desa datang dengan rasa ingin tahu, tak menyangka bahwa di tengah rimba itu mereka menemukan seorang perwira penerbang dari negeri jauh.

Peristiwa itu kemudian dicatat dalam berbagai laporan kolonial sebagai kecelakaan balon udara pertama di Hindia Belanda sekaligus menandai berakhirnya perjalanan sang pionir dari Rembang.




Dari Laut ke Langit

Kisah Alfred Rambaldo tidak berdiri sendiri. Kakeknya, J. Rambaldo, adalah seorang Kapten Angkatan Laut Belanda bergelar kehormatan Ridder der Eikenkroon (Ksatria Orde Mahkota Ek). Dua generasi keluarga ini sama-sama hidup di bawah semangat penjelajahan sang kakek di lautan, sang cucu di udara.

Kini, keduanya dimakamkan berdampingan di kompleks pemakaman Kembang Kuning, Surabaya, dalam sebuah nisan marmer dengan tulisan Belanda:

“Grondlegger der Luchtvaart in Nederland en in zijne koloniรซn.”
Artinya: “Perintis dunia penerbangan di Belanda dan di koloninya.”

Kalimat itu menjadi penegasan bahwa sejarah penerbangan di Indonesia dimulai jauh sebelum hadirnya bandara modern dan pesawat bermesin logam.



Langit Tak Pernah Melupakan

Nama Alfred Emile Rambaldo kini jarang disebut, namun kisahnya tetap abadi. Ia bukan hanya perwira laut atau penjelajah langit, melainkan simbol keberanian manusia yang menolak berhenti bermimpi.
Lebih dari seabad setelah jatuhnya balon itu di Blora, kita masih bisa menelusuri jejaknya dari lapangan Soerabaya, hutan jati Nglebur, hingga batu nisan tua di Kembang Kuning.
Setiap tempat menyimpan serpih kisah tentang seorang lelaki muda yang berani menembus batas antara laut dan langit.


Penutup

Setiap langkah, bahkan yang menembus langit, selalu meninggalkan jejak di bumi tempat ia berpijak.



Jangan Menua Tanpa Cerita – Eko WKS
Surabaya, Rabu, 22 Oktober 2025


๐Ÿ“ Jejak Sejarah:

1. Soerabaya – Lokasi lepas landas penerbangan 1911

2. Desa Nglebur, Kec. Jiken, Kab. Blora – Lokasi jatuhnya balon udara

3. Kompleks Pemakaman Kembang Kuning, Surabaya – Tempat peristirahatan Alfred Emile Rambaldo dan keluarganya (Rabu, 22 Oktober 2025)






Kamis, 23 Oktober 2025

GERBANG KEMBANG KUNING - PINTU SUNYI KOTA SURABAYA

Oleh: Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)




Jejak Awal di Kembang Kuning

Pagi itu, langkah kaki saya berhenti di depan sebuah gerbang tua berwarna putih kusam di kawasan Kembang Kuning, Surabaya.
Sekilas tampak biasa saja — namun dari lengkung besar dan bentuk atap pelananya, terlihat jelas jejak arsitektur kolonial yang masih bertahan di tengah hiruk-pikuk kota modern.


Inilah pintu masuk ke salah satu kompleks pemakaman tertua di Surabaya, yang dulu dikenal dengan nama Begraafplaats Kembang Koening.
Nama yang berasal dari masa Hindia Belanda, ketika kawasan ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi warga Eropa dan Indo-Eropa yang menetap di kota pelabuhan terbesar di Jawa Timur ini.

Boulevard Menuju Keabadian


Jika menelusuri foto-foto lama dari awal abad ke-20, jalan menuju gerbang ini dulu tampak menawan.
Sebuah boulevard panjang diapit deretan pohon pinus tinggi, membentuk lorong alami menuju gerbang besar di ujungnya.
Gerbang ini bergaya Neo-Gotik sederhana tanpa ornamen berlebihan, hanya lengkung besar, dinding tebal, dan salib kecil di puncaknya.
Sebuah simbol arsitektur yang tegas, namun sarat makna: pintu antara kehidupan dan keabadian.

Lewat gerbang inilah dahulu keluarga Belanda, pejabat kolonial, dan warga Indo-Eropa datang menghantarkan kepergian orang-orang terkasih.
Suasana yang hening, teratur, dan penuh penghormatan yang sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang lebih padat dan riuh kendaraan.

Nama-nama di Balik Gerbang

Tak banyak yang tahu, di balik gerbang ini bersemayam tokoh-tokoh penting dalam sejarah Surabaya.


Salah satunya adalah Cornelis Citroen, arsitek asal Belanda yang merancang sejumlah bangunan ikonik seperti Lawang Sewu di Semarang dan Rumah Dinas Wali Kota Surabaya.
Lalu ada G. H. von Faber, seorang wartawan sekaligus sejarawan yang banyak menulis tentang kehidupan masyarakat Surabaya di masa kolonial.


Dan tak jauh dari situ, terdapat makam para awak pesawat Dornier Wal G-26 yang gugur dalam kecelakaan tragis pada tahun 1930-an dan kisah mereka pernah menjadi berita besar di masa itu.

Setiap nisan, setiap huruf nama, adalah potongan kecil dari mozaik sejarah kota ini.
Dan semuanya bermula dari gerbang yang masih berdiri di depan saya sebagai saksi bisu yang menahan waktu agar cerita tak menguap begitu saja.

Kembang Kuning Hari Ini


Kini suasananya telah berubah.
Pepohonan rindang di jalan masuk sudah lama menghilang.
Di kanan kiri gerbang terparkir deretan motor dan mobil, seolah melingkupi sunyi masa lalu dengan riuh modernitas.

Namun jika diperhatikan baik-baik, masih ada nuansa yang sama:
keheningan yang samar, aroma tanah tua, dan guratan cat yang mengelupas dan seakan ingin bercerita bahwa bangunan ini telah melewati banyak musim, tapi tetap setia menjaga rahasianya.

Bagi saya, gerbang Kembang Kuning bukan sekadar pintu makam,
tapi pintu waktu yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan kenangan yang belum selesai.


Refleksi Kecil


Berdiri di depannya, saya membayangkan derap langkah para pelayat tempo dulu, bunyi roda kereta kuda, dan gaung doa yang mungkin pernah bergema di bawah lengkung atap itu.
Sekarang, semua telah berganti suara mesin motor, tapi keheningannya masih terasa sama.

Tempat-tempat seperti ini mengingatkan saya bahwa setiap kota menyimpan lapisan cerita. Sebagian tercatat di buku, sebagian lagi hanya hidup dalam batu nisan, atau dalam foto-foto lama yang kini kita lihat hitam-putih.

Penutup

Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan kisah yang tersisa.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.


Sumber Bacaan & Referensi

1. Arsip foto lama Begraafplaats Kembang Koening – Nationaal Archief Nederland

2. Catatan sejarah Cornelis Citroen & G. H. von Faber – Oud Soerabaia Society

3. Katalog Dornier Wal G-26 crash – Koninklijke Marine Archief

4. Wawancara dan penelusuran sejarah lokal – Baraya Heritage Research Notes

5. Peninjauan langsung ke lapangan hari Rabu, 22 Oktober 2025, bersama komunitas @oudsoerabajahunter

Selasa, 21 Oktober 2025

Titik Nol Kota Bogor – Jejak yang Nyaris Terlupa

Oleh : Eko WKS
(Baraya Heritage – Nge-blog Tipis-tipis Versi Lapangan)



Lokasi:
Tepat di depan Balai Kota Bogor, Jl. Ir. H. Djuanda No. 10, Kota Bogor
Berada di trotoar sisi barat jalan, tidak jauh dari Taman Balai Kota dan Hotel Salak Heritage.


Di tengah rindangnya pohon tua dan lalu lintas padat Jalan Ir. H. Djuanda, tepat di depan Balai Kota Bogor, berdiri sebuah tugu kecil sederhana. Warnanya campuran hijau, putih, dan kuning. Tidak menjulang tinggi, hanya sekitar setengah meter — namun maknanya begitu besar: inilah Titik Nol Kilometer Kota Bogor.

Di sisi depannya terukir tulisan JKT 59, menandakan jarak dari Bogor ke Jakarta sejauh 59 kilometer. Di bawahnya ada BGR 0, simbol bahwa di sinilah titik awal perhitungan jarak Kota Bogor dimulai.
Dulu, pada masa Hindia Belanda, masih ada tulisan JTN 47, yang diduga merujuk ke arah Jatinegara. Namun kini tulisan itu sudah hilang, terhapus cat baru dan usia, menyisakan kisah yang tak semua orang lagi mengenalnya.

Tugu ini adalah saksi bisu perjalanan panjang Kota Hujan — mulai dari era Buitenzorg yang menjadi kota peristirahatan pejabat kolonial, hingga kini menjadi kota dinamis dengan wajah modern dan sejarah yang berdampingan.
Konon, titik nol Bogor awalnya berada di sekitar kubah Istana Bogor. Namun seiring perubahan tata kota, penanda jarak ini dipindahkan ke tempat yang lebih mudah dijangkau, agar masyarakat bisa melihat dan mengingatnya.

Meski kecil dan kerap terlewat pandang, tugu ini menyimpan simbol penting: pusat arah dan ukuran perjalanan.
Dari sinilah setiap jarak diukur, setiap peta dimulai, dan setiap kisah bergerak.

“Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan,
tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.
Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.”
Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.


Sumber bacaan & kunjungan lapangan:

1. Observasi langsung di lokasi, Minggu, 19 Oktober 2025

2. Muda Kompas – Titik Nol Kota Bogor Tidak Tampak Namun Berdampak

3. RRI – Titik Nol Kilometer Bogor: Simbol Sejarah dan Geografis Kota Hujan

Jejak Rel di Tanah Pesisir – Stasiun Pangandaran

Jejak Rel di Tanah Pesisir – Stasiun Pangandaran
Oleh : Eko WKS


Instagram.    

Jejak Sejarah di Ujung Selatan Priangan
Ada yang berbeda dari senja di Pangandaran.
Ketika cahaya jingga memantul di dinding batu kali tua bertuliskan “PANGANDARAN +7 M”, kita seolah kembali ke masa ketika uap lokomotif dan peluit kereta menjadi suara yang akrab bagi warga pesisir selatan Jawa.

Stasiun Pangandaran bukan sekadar bangunan tua, ia adalah fragmen dari masa emas jalur kereta Banjar-Cijulang, proyek besar yang digarap oleh Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen (SS-WL) di awal abad ke-20.
Pembangunannya dimulai sekitar tahun 1914, dan rampung secara bertahap hingga 1921, tahun ketika segmen terakhir Parigi–Cijulang akhirnya dibuka untuk umum.

Bangunan stasiun ini diperkirakan selesai sekitar 1917–1918.
Saat itu, kawasan Pangandaran masih dikelilingi hutan kelapa dan perkebunan, serta dikenal sebagai titik perhentian wisatawan Belanda yang ingin menikmati pantai selatan Priangan.

Dari Banjar ke Laut Selatan
Jalur Banjar–Cijulang memiliki panjang lebih dari 80 kilometer, melintasi daerah berbukit, jembatan baja, dan lembah sungai yang menantang.
Bagi para insinyur Staatsspoorwegen, proyek ini bukan sekadar membangun rel, melainkan membuka jalur ekonomi baru di wilayah yang sebelumnya terpencil.

Kereta dari Banjar akan melewati Ciamis, Bojong, Parigi, hingga tiba di Pangandaran.
Setiap pemberhentian memiliki peran: membawa hasil bumi seperti kopi, gula, dan kelapa ke arah utara, serta mengangkut wisatawan dan pedagang menuju pantai.

Pada masa jayanya di tahun 1920-an hingga 1930-an, kereta ini menjadi simbol kemajuan.
Para pelancong dari Batavia dan Bandung dapat menempuh perjalanan hingga Pangandaran, hanya dalam sehari penuh  sebuah kemewahan di masa ketika mobil masih jarang, dan jalan raya masih berupa tanah berbatu.

Arsitektur Kolonial Tropis
Bangunan Stasiun Pangandaran bergaya khas Staatsspoorwegen, kokoh namun sederhana.
Pondasinya dari batu kali besar, atapnya tinggi dan curam dengan genteng tanah liat, sementara ventilasi segitiganya memungkinkan udara laut mengalir bebas.
Di bagian depan, terdapat papan nama timbul berwarna putih yang kini mulai pudar tapi huruf-hurufnya masih bisa dibaca jelas, PANGANDARAN +7M.

Di masa lampau, sisi timur stasiun digunakan untuk memarkir gerbong kayu dan lokomotif uap jenis C50 dan D50.
Asap hitam dari cerobongnya kerap menutupi langit sore, disambut riuh anak-anak yang menunggu di tepi rel.
Kini, hanya rumput liar dan jalan kecil yang menandai bekas jalur tersebut.

Dari Riuh ke Sunyi
Sekitar tahun 1982, jalur Banjar–Cijulang resmi ditutup akibat longsor di daerah Bojong–Parigi dan rusaknya beberapa jembatan besi.
Sejak itu, suara peluit tak lagi terdengar di Pangandaran.
Bangunan stasiun perlahan dibiarkan kosong, sebagian dijadikan gudang, sebagian lagi sekadar tempat berteduh warga setempat.

Namun meski relnya hilang, kisahnya tidak ikut hilang.
Dinding-dinding itu masih menyimpan aroma masa lalu.
Setiap retakannya seperti berbisik tentang para masinis yang dulu berangkat sebelum fajar, tentang wisatawan yang turun dengan koper kulit, tentang pegawai Staatsspoorwegen yang menulis tiket dengan pena celup di loket kayu tua.

Antara Kenangan dan Harapan
Bagi sebagian orang, Stasiun Pangandaran hanyalah bangunan tua di pinggir jalan.
Tapi bagi penikmat sejarah, ia adalah monumen kecil dari perjalanan panjang bangsa ini dalam membangun peradaban transportasi.

Melihatnya kini dikelilingi pepohonan kelapa dan semilir angin laut, kita diingatkan bahwa kemajuan tak selalu berarti meninggalkan yang lama.
Terkadang, mengenang adalah cara terbaik untuk melanjutkan.


Penutup
Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Mungkin relnya sudah tak ada.
Tapi kisahnya masih menempel pada dinding, pada huruf timbul di papan nama, dan pada kenangan orang-orang yang pernah menunggu kereta di sini.

Stasiun Pangandaran adalah pengingat bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita tak pernah benar-benar berakhir.

Jangan Menua Tanpa Cerita.

Salam heritage, dari saya Eko WKS / Baraya Heritage.

Sumber Bacaan dan Referensi :
1. Arsip Staatsspoorwegen Afdeeling Westerlijnen, “Verslag van den Staatsspoorwegen 1916–1922.”

2. Reitsma, S.A. (1928). Spoorwegen en Tramwegen in Nederlands-Indiรซ. ’s-Gravenhage: Mouton & Co.

3. Indonesia Railfan Archive (2020). “Sejarah Jalur Banjar–Cijulang dan Stasiun Pangandaran.”

4. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Barat (2023). Inventarisasi Bangunan Cagar Budaya Jalur Selatan Priangan.

5. Wawancara lapangan komunitas Baraya Railfans dan Kang Kujang Roker, 2024.



Senin, 20 Oktober 2025

Jejak F. Silaban – Rumah Sang Arsitek Bangsa di Buitenzorg

Jejak F. Silaban – Rumah Sang Arsitek Bangsa di Buitenzorg

Eko WKS – Baraya Heritage

Akhir pekan kali ini saya berjalan menyusuri sudut-sudut Buitenzorg, nama lama dari Kota Bogor yang selalu punya aroma masa lalu. Di antara rintik hujan dan rindangnya pepohonan tropis, saya tiba di sebuah jalan kecil yang namanya begitu istimewa — Jl. Arsitek F. Silaban.

Sebuah papan hijau berdiri di pinggir jalan, sederhana namun penuh makna. Nama itu membawa kita kepada sosok besar: Friedrich Silaban (1912–1984), arsitek kebanggaan Indonesia yang merancang Masjid Istiqlal, Bank Indonesia, dan rancangan awal Monumen Nasional (Monas). Namun di balik bangunan monumental itu, ternyata ada sisi lain: rumah yang sederhana, tenang, dan menyatu dengan alam.

Rumah Tropis Sang Maestro

Rumah di Jl. Arsitek F. Silaban ini tampak mencerminkan jati diri sang arsitek.

Atapnya tinggi dan miring — bentuk khas arsitektur modern tropis, dirancang agar udara mengalir bebas di bawah genteng, menyesuaikan iklim lembap Bogor.
Dinding batu alam berpadu dengan jendela besar berbingkai kayu. Halaman depannya luas, dipenuhi pepohonan mangga dan kelapa yang seolah menjaga keteduhan rumah.

Tak ada ornamen berlebihan, tak ada kemewahan mencolok. Justru dalam kesederhanaan itulah tampak kecerdasan arsitektural Silaban: fungsional, manusiawi, dan kontekstual dengan lingkungan tropis Indonesia.

Lebih dari Sekadar Arsitek

Friedrich Silaban dikenal sebagai arsitek idealis yang tak mudah berkompromi.
Ia pernah bersaing dalam sayembara nasional untuk merancang Monumen Nasional dan memenangkan sayembara Masjid Istiqlal, yang kemudian menjadi simbol toleransi dan kemerdekaan bangsa.

Namun Silaban juga seorang yang sederhana. Rumah pribadinya ini menjadi bukti bahwa ia bukan hanya membangun monumen untuk negara, tapi juga ruang hidup yang berjiwa — tempat keluarga, ide, dan ketenangan berpadu.

Buitenzorg, Rumah Sejarah yang Hidup

Buitenzorg, atau Bogor, memang dikenal sebagai kota berhawa sejuk dan sarat peninggalan kolonial. Tapi bagi saya, setiap sudutnya punya kisah baru — seperti rumah ini, yang mungkin sering luput dari perhatian publik.
Menyusuri jalan ini, saya merasa seolah berjalan dalam waktu: dari masa kolonial, menuju masa pasca-kemerdekaan, lewat jejak langkah seorang arsitek yang membangun identitas Indonesia lewat rancangan dan prinsipnya.

Penutup

Hari itu, hujan masih rintik-rintik. Saya berdiri di depan rumah F. Silaban, memandang bangunan yang tenang namun penuh arti. Dalam diamnya, rumah ini seolah berkata:

“Warisan bukan selalu tentang kemegahan. Kadang, ia hadir dalam kesederhanaan yang abadi.”

Setiap langkah di tempat seperti ini selalu mengingatkan saya bahwa waktu boleh berjalan, tapi cerita… tak pernah benar-benar berakhir.

Saya hanyalah penikmat bangunan tua dan cerita yang tersisa.

Jangan Menua Tanpa Cerita – bersama saya, Eko WKS.

Buitenzorg, Jawa Barat

Minggu, 19 Okt 2025




Instagram

Rabu, 17 September 2025

Dentang Sunyi dari Tahun 1906: Lonceng Bersejarah di Jantung Cianjur

Dentang Sunyi dari Tahun 1906: Lonceng Bersejarah di Jantung Cianjur

Oleh: Eko WKS

Cianjur bukan hanya tentang tauco. Di balik kelezatan kuliner dan keindahan alamnya, kota ini menyimpan jejak-jejak sejarah yang tak kalah menarik untuk ditelusuri. Salah satunya adalah sebuah lonceng tua yang berdiri anggun di halaman Kantor Bupati Cianjur.

Lonceng ini bukan sekadar hiasan atau spot foto menarik. Ia adalah warisan masa kolonial Belanda—sebuah artefak yang dulu memiliki fungsi sangat penting. Pada zamannya, dentang lonceng ini digunakan sebagai penanda waktu. Ia dibunyikan saat jam kerja dimulai, saat istirahat tiba, atau ketika terjadi peristiwa penting yang harus diketahui seluruh aparat pemerintahan dan masyarakat sekitar.

Yang membuat lonceng ini istimewa adalah tulisan yang terukir di permukaannya, yaitu:

"DE BURGEMEESTER VAN TJIANJOER ANNO 1906"
yang berarti: "Wali Kota Cianjur Tahun 1906"

Lalu terdapat pula tulisan lain yang tak kalah penting:
"BATAVIA"
dan di bawahnya:
"N.V. NEDERLANDSCHE GIETERIJ"
yang merujuk pada nama pembuat lonceng—sebuah perusahaan pengecoran logam Belanda yang bermarkas di Batavia (Jakarta sekarang) pada masa Hindia Belanda.

Tulisan-tulisan ini mempertegas bahwa lonceng tersebut dibuat dan didatangkan langsung dari pusat pemerintahan kolonial. Keberadaannya bukan hanya simbol kekuasaan lokal, melainkan bagian dari sistem administratif dan budaya kolonial yang tertanam kuat di kota-kota penting seperti Cianjur.

Kini, meskipun tak lagi dibunyikan, lonceng ini tetap berdiri kokoh—menjadi saksi bisu perjalanan panjang kota ini. Banyak warga dan wisatawan yang menyempatkan diri untuk berfoto atau merenung di bawahnya. Dalam diamnya, lonceng ini tetap bersuara—mengingatkan kita bahwa sejarah bukan untuk dilupakan.

Cianjur bukan hanya tauco. Ia adalah kota dengan warisan, dengan gema masa lalu yang terus hidup dalam wujud-wujud seperti lonceng ini.

Jangan menua tanpa cerita.

Cianjur, 24/05/2025

Kamis, 19 Juni 2025

Stasiun Batavia Noord - Disinilah Segalanya Bermula

 Stasiun Batavia Noord: Disinilah Segalanya Bermula

Author: Eko WKS


Latar Sejarah: Ketika Batavia Butuh Kereta Api

Kisah Stasiun Batavia Noord dimulai pada masa ketika Batavia—ibukota Hindia Belanda—berkembang pesat sebagai pusat niaga dan administrasi kolonial. Di akhir abad ke-19, kebutuhan transportasi dari pelabuhan menuju pedalaman meningkat tajam. Terutama untuk mengangkut hasil bumi seperti kopi, gula, teh, dan karet dari wilayah Priangan dan Jawa Tengah ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk diekspor ke Eropa.

Muncullah inisiatif dari perusahaan swasta Belanda: Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij (BOS). Pada 1 Oktober 1887, mereka membuka jalur Meester Cornelis (Jatinegara) – Batavia Noord. Inilah awal dari era perkeretaapian di Batavia bagian utara.

Batavia Noord dipilih sebagai stasiun akhir karena lokasinya strategis—dekat kanal, pelabuhan, dan jantung pemerintahan kota lama Batavia. Stasiun ini menjadi saksi mobilitas zaman: dari pedagang lokal, pegawai kolonial, hingga tentara Hindia Belanda.

Namun, BOS tak bertahan lama. Karena kesulitan finansial dan teknis, jalur ini akhirnya diambil alih oleh pemerintah kolonial melalui Staatsspoorwegen (SS) pada 1898. Sejak saat itu, kontrol perkeretaapian di Hindia Belanda mulai terpusat dan profesional, dengan Batavia Noord sebagai salah satu simpul penting sebelum dipindahkan ke lokasi baru.

Bergesernya Titik Sentral: Lahirnya Stasiun Batavia Zuid

Perkembangan kota membuat lokasi Batavia Noord dirasa tidak lagi ideal. Wilayahnya sempit, kanal di sekelilingnya menghambat ekspansi, dan lalu lintas barang dari pelabuhan mulai berpindah ke jalur darat.

Maka pada 1929, Staatsspoorwegen meresmikan Stasiun Batavia Zuid, kini dikenal sebagai Stasiun Jakarta Kota. Bangunan baru ini megah, berarsitektur art-deco, dan mampu menampung volume lalu lintas kereta yang lebih besar. Batavia Noord pun perlahan kehilangan perannya.

Walau begitu, stasiun ini tidak langsung ditutup. Ia masih digunakan untuk operasi teknis dan transportasi barang skala kecil. Namun seiring waktu, terutama saat Jepang datang tahun 1942 dan masa awal kemerdekaan, bangunan Batavia Noord mulai ditinggalkan dan akhirnya terlupakan.

๐Ÿ“ Letak Strategis yang Kini Tersamarkan

Kalau kita tengok peta lama—khususnya edisi 1890–1930—Batavia Noord terletak di dekat Jalan Lada, di sisi barat Kali Besar. Kini, kawasan tersebut dikelilingi gedung tua, pertokoan, dan jalan sempit yang penuh aktivitas.

Bekas tapak stasiun kemungkinan berada tak jauh dari Museum Bank Indonesia, di mana jalur rel pernah membentang melintasi kanal dan menuju gudang-gudang kolonial di sekitar pelabuhan.

Tidak ada bangunan yang berdiri utuh hari ini. Namun, jejak sejarahnya tetap hidup dalam peta, arsip kolonial, dan pecinta sejarah yang mencoba menghidupkannya kembali.

Dokumentasi Lawas: Mengintip Masa Lalu

Dari beberapa koleksi Tropenmuseum dan KITLV, ada satu dua potret yang diduga kuat menggambarkan Batavia Noord. Tampak bangunan panjang berkanopi, rel dengan lori trem kecil, dan suasana kota pelabuhan tempo dulu.

Sayangnya, dokumentasi visual Batavia Noord memang sangat terbatas. Berbeda dengan Batavia Zuid yang terekam dalam berbagai sudut dan masa, Batavia Noord nyaris lenyap dari ingatan kolektif, seperti stasiun bayangan yang tertinggal di ujung sejarah.

Ngevlog Tipis-tipis: Melacak yang Tak Terlihat

Beberapa waktu lalu, saya ngevlog tipis-tipis di kawasan Kota Tua. Berjalan kaki dari Museum Bank Indonesia, menyusuri jalur-jalur lama, mencoba membaca peta lawas sambil membandingkan dengan realitas hari ini. Lokasi Batavia Noord mungkin kini tertutup beton dan toko-toko kecil, tapi aromanya masih bisa dirasa.

Saya berdiri di antara gedung tua dan jembatan kanal. Ada desir angin yang membawa suara masa lalu. Suara rel yang berdecit, peluit masinis, dan derap penumpang yang tergesa.

Sekali waktu saya memejamkan mata. Di bayangan saya, Batavia Noord kembali berdiri. Para pekerja pelabuhan memanggul karung. Pegawai berdasi turun dari kereta. Dan kereta uap mengeluarkan asap dari cerobongnya. Sebuah momen sejarah yang sayangnya, tak semua orang tahu.

Penutup: Stasiun yang Hilang, Cerita yang Harus Diulang

Stasiun Batavia Noord bukan sekadar stasiun pertama di utara Batavia. Ia adalah gerbang awal Jakarta modern, tempat di mana rel pertama menghubungkan pelabuhan dengan kota. Walaupun kini telah hilang, kisahnya tetap penting.

Mari kita jaga ingatan ini. Karena sejarah bukan hanya milik gedung megah, tapi juga milik tempat yang hilang. Dan kadang, yang hilang itu justru menyimpan cerita paling berharga.


Jangan Menua Tanpa Cerita - Eko wks


Referensi Tambahan:

1. Buku “Spoorwegstations op Java” – Diederik Atsma

2. Peta Batavia 1898 & 1930 – KITLV Leiden

3. Arsip Staatsspoorwegen – De Indische Courant

4. Artikel sejarah Batavia oleh Oud Batavia Society

5. Koleksi Tropenmuseum dan Museum Bank Indonesia


Rabu, 04 Juni 2025

Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang


Cianjur Tempo Doeloe: Bumi Ageung Cikidang

๐Ÿ“ oleh: Eko WKS


Di tengah udara sejuk Cianjur yang masih setia dengan hijaunya kebun teh dan lembutnya angin gunung,

terdapat sebuah bangunan tua penuh wibawa—Bumi Ageung Cikidang.

Rumah besar ini bukan sekadar peninggalan masa lampau,

tapi bagian penting dari sejarah kepemimpinan dan kebudayaan Sunda.


Bangunan ini pernah menjadi kediaman resmi Raden Aria Adipati Kusumahningrat,

Bupati Cianjur ke-9, yang memerintah dari tahun 1834 hingga 1862.

Beliau dikenal sebagai sosok pemimpin karismatik yang menjunjung tinggi adat Sunda,

serta memiliki hubungan erat dengan pemerintah Hindia Belanda.

Di masa kepemimpinannya, Cianjur berkembang sebagai kota menak dan pusat kebudayaan yang hidup berdampingan dengan dunia kolonial.


Dibangun pada akhir abad ke-19 dengan perpaduan arsitektur Eropa klasik dan nuansa tradisional Sunda,

Bumi Ageung Cikidang memiliki langit-langit tinggi, pilar kokoh, dan jendela besar menghadap taman.

Di dalamnya, pernah berlangsung perjamuan, pertemuan adat, dan kegiatan seni.

Ia adalah rumah, balai, dan simbol wibawa sekaligus.


Kini, rumah ini berdiri dalam keheningan.

Beberapa bagian mulai dimakan usia, namun masih terawat dan menyimpan banyak benda bersejarah:

perabot kayu jati, dokumen keluarga, foto lawas, hingga artefak dari masa pemerintahan R.A.A. Kusumahningrat.

Bagi yang datang, rumah ini seperti menyambut dengan bisikan masa lalu.


Sayangnya, belum banyak yang mengenal warisan ini.

Padahal, Bumi Ageung Cikidang adalah jejak emas sejarah Cianjur yang harus dijaga dan diceritakan ulang.

Semoga semakin banyak orang datang, bukan sekadar melihat bangunan tua,

tetapi juga meresapi nilai budaya dan sejarah yang melekat pada tiap sudutnya.


Karena sejarah bukan untuk dilupakan,

melainkan untuk dihidupkan kembali dalam cerita dan langkah-langkah baru.


Jangan Menua Tanpa Cerita.

Salam dari Bumi Ageung Cikidang – Cianjur Tempo Doeloe,

Eko WKS.

Mei - 2025


Link Youtube : https://youtu.be/xtD6PHb3FtQ?si=71rQmeZFIftDBFWz
















 









Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

 Napas Lama di Rel Tua – Stasiun Cianjur 1883

Oleh : Eko WKS

Di tengah kota Cianjur yang sejuk dan damai, berdiri sebuah bangunan tua yang tak banyak bicara, namun menyimpan napas panjang sejarah: Stasiun Cianjur. Diresmikan pada tahun 1883, stasiun ini menjadi bagian penting dari jalur kereta api lintas Priangan, dibangun oleh Staatsspoorwegen—perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda.

Dulu, stasiun ini menjadi simpul penghubung antara Batavia, Bandung, dan Padalarang, menembus lanskap Jawa Barat yang berbukit, melewati lembah dan jembatan tua yang masih berdiri hingga kini. Jalur ini bukan jalur biasa; ia adalah saksi bisu pergerakan manusia, hasil bumi, hingga pasukan kolonial.

Langit-langit stasiun ini masih menjulang dengan gaya arsitektur kolonial yang khas: atap tinggi, ventilasi besar, dan lantai tegel bermotif lama. Lorong dan ruang tunggunya sunyi, tapi bukan sepi—ada suara yang tertinggal dari masa lalu. Suara peluit, roda besi yang beradu dengan rel baja, dan langkah kaki penumpang yang pernah mampir, entah untuk pulang… atau sekadar pergi mencari.

Kini, Stasiun Cianjur memang tak seramai dulu. Lalu lintas kereta di jalur ini tidak lagi padat, bahkan bisa dihitung jari dalam seminggu. Tapi justru di situlah keistimewaannya: ketenangan yang ditawarkan, dan kesempatan untuk melihat bagaimana waktu bekerja pelan-pelan. Bangunannya masih tegak, meski sedikit mengelupas. Plang nama tua masih terpampang, seperti ingin berkata, “Aku masih di sini.”

Aku datang ke sini bukan hanya untuk melihat, tapi untuk mendengarkan. Mendengarkan cerita yang tak lagi terucap, tapi bisa terasa dari setiap detail—dari kusen kayu tua, pintu besi yang berat, hingga rel yang mulai berkarat. Di balik keteduhan stasiun ini, ada napas lama yang masih mengalir pelan, membawa kita ke masa di mana perjalanan adalah petualangan besar.

Dan saat angin melintas di peron, membawa aroma tanah basah dan daun pinus dari kejauhan, aku tahu: tempat ini bukan sekadar stasiun. Ia adalah penjaga waktu, yang tak lelah menunggu siapa pun yang ingin mengenang.

๐Ÿ“ Eko WKS – Ngevlog tipis-tipis di Cianjur, mencari cerita yang tak ditulis sejarah.

๐Ÿ›ค️ Jangan Menua Tanpa Cerita.


Link Youtube : https://youtube.com/shorts/H3ma6l0hUl8?si=-XuO1s0yPRM27FY8 

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921

Roti Tan Keng Cu: Warisan Rasa dari Cianjur Sejak 1921
Oleh : Eko WKS

Cianjur… kota yang sejuk di kaki Gunung Gede, kerap disinggahi kereta, punya stasiun tua dan peron yang menyimpan banyak kisah. Tapi hari ini, saya tidak sedang bicara soal rel, stasiun, atau tauco. Saya ingin mengajak kamu berjalan kaki sebentar, menyusuri aroma masa lalu yang masih hidup hingga kini—menuju satu tempat legendaris: Roti Tan Keng Cu.

Sebuah Nama Tua, Sebuah Resep yang Bertahan

Roti Tan Keng Cu bukan sekadar toko roti. Ia adalah bagian dari sejarah kota Cianjur. Berdiri sejak tahun 1921, di masa Hindia Belanda masih bercokol, toko ini dirintis oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Keng Cu.
Beliau memulai dari nol—membuat roti sendiri di rumah, dipanggul di atas kepala, lalu dijajakan dari kampung ke kampung. Tanpa toko, tanpa etalase, hanya mengandalkan rasa.

Kala itu, roti adalah makanan mewah. Tapi berkat tangan Tan Keng Cu, roti menjadi lebih merakyat—disukai oleh warga lokal maupun meneer-meneer Belanda. Bahkan, kabarnya beberapa pejabat Belanda langganan pesan roti untuk dibawa ke Batavia.

Roti yang Menyimpan Masa

Sampai hari ini, resep aslinya masih dijaga ketat oleh generasi penerus. Tidak ada bahan pengawet, tidak ada proses instan. Semua dibuat manual, dari adonan sampai panggangan.
Yang paling legendaris? Roti bulat isi selai nanas, roti sobek isi kelapa dan cokelat, serta roti tawar lawas yang teksturnya padat tapi lembut.

Begitu masuk ke tokonya, kita langsung disambut aroma khas yang membawa kita ke masa lalu—hangat, sederhana, tapi penuh kenangan.

Bukan Sekadar Roti

Roti Tan Keng Cu bukan hanya soal rasa. Ia adalah bagian dari sejarah Cianjur, dari kehidupan masa kolonial, dari percampuran budaya Tionghoa, Sunda, dan Belanda yang diam-diam bertemu dalam gigitan sederhana.

Buat kamu yang sedang ke Cianjur—entah sengaja atau sekadar numpang lewat—luangkan waktu sebentar. Mampirlah. Rasakan bagaimana rasa bisa menyimpan waktu, dan bagaimana roti bisa jadi pengingat bahwa yang sederhana bisa jadi abadi.


---

Eko WKS, dari Cianjur.
Jangan Menua Tanpa Cerita.


Kamis, 24 April 2025

JAM ANTIK DI STASIUN JAKARTA KOTA

Jam Antik di Stasiun Jakarta Kota
Jam antik di Stasiun Jakarta Kota

Jam antik buatan F.M. Dittmann, sebuah pabrik jam ternama dari Leipzig, Jerman, yang berdiri sejak abad ke-19. Jam ini adalah bagian dari ornamen asli stasiun yang diresmikan pada tahun 1929, dan menjadi salah satu ikon arsitektural dari era kolonial Hindia Belanda.

Beberapa ciri khas dari jam ini:

Desain klasik Eropa dengan angka Romawi.

Rangka jam dengan ornamen artistik bergaya art deco.

Diletakkan tinggi di area peron agar mudah terlihat oleh penumpang dari berbagai arah.

Stasiun Jakarta Kota sendiri adalah bangunan cagar budaya dan dulunya dikenal sebagai Beos Station (Bataviasche Oosterspoorweg Maatschappij). Jadi, jam ini bukan hanya alat penunjuk waktu, tapi juga bagian dari warisan sejarah transportasi Indonesia.